Saat aku kembali membuka mata, aku berada di sebuah ruangan bercat putih yg mirip kamar rumah sakit. Apa aku masih bermimpi? pikirku bingung. Tapi ruangan ini begitu nyata. Penuh dengan aroma obat yang menusuk hidung. Khas rumah sakit. Dan. . . . ada infus di lengan kananku. Suara pintu terbuka membuatku berpaling.
Andri tersenyum melihatku terjaga dan segera masuk.
"Halo TJ. Sudah siap untuk bergabung kembali dengan dunia?" tanyanya dengan suara yg terdengar lega, "TEMAN-TEMAN!! DIA SUDAH BANGUN!" katanya keras. Dalam sekejap, kamar itupun segera penuh oleh teman-teman yang lain. Kecuali Soni tentunya.
"Halo biang heboh! Kau sudah membuat kami cemas dengan tidur 2 hari," sapa Sari yang langsung menghampiriku ke pembaringan.
"Ini dimana?" tanyaku masih bingung.
"Rumah sakit kota Banyuwangi."
"Rumah sakit?"
"Yep! Keadaanmu payah. Menurut dokter kamu shock, kekurangan cairan lalu entah apa lagi. Aku lupa. Yang jelas, kamu kudu istirahat. Nggak ada yang perlu dicemaskan. Kakimu juga nggak apa-apa. Cukup istirahat saja bbrp waktu," jelas Andri.
"Pendakian?" tanyaku lagi.
"Sukses! Kami tinggal selama 2 hari disana. Makanya kami kaget waktu kembali kalian ngilang. Untung kami menemukan pesan Soni dipondok itu."
"2 hari? Soni? Maksudmu yang membawaku kesini. . . . . . . " aku menggantungkan kalimatku.
"Iya Soni. Nggak inget?" tanya Sari. "Mungkin gara-gara pingsan kamu nggak inget."
Aku termangu mendengar penjelasan mereka. Jadi Soni tidak pergi? Dia tidak menyusul yang lain kepuncak? Dia kembali dan membawa aku yang tak sadarkan diri ke rumah sakit kota. Tapi bagaimana . . . . . .
"Lho?! Kok ada didalam semua?" seorang perawat yang muncul didepan pintu membuat lamunanku terputu, "Pasien butuh istirahat. Silahkan lainnya menunggu diluar," tegurnya sedikit marah. Teman-temanku segera mengeluarkan protesnya.
"Ayo keluar!!" usir suster itu cuek sambil mendorong mereka untuk pergi.
"Iya Sus! Duh! Cantik-cantik kok galak sih?" gerutu Adi.
"Nanti kami akan kembali," pamit Andri dan keluar menyusul yang lain.
"Bagaimana keadaannya?" tanya susuter itu dan mendekat dengan membawa baki berisi peralatan medis dan obat.
"Baik Sus. Cuma lemas," sahutku pelan. Aku membaca name tag nya yang tersemat didada. Ani. Usianya masih muda. Mungkin pertengahan 20. Dia memeriksa suhu tubuhku.
"Semuanya baik. Kamu hanya perlu istirahat untuk pulih. Nah, ini obatnya diminum," katanya sembari mengangsurkan sebutir obat padaku, "Kakaknya sudah datang?" sambungnya lagi seraya memeriksa selang infusku.
Aku yang baru saja menelan obat jadi sedikit bingung dan hampir tersedak, "Kakak?"
"Lho? Yang bawa kamu kesini? Putih, ganteng? Namanya . . . . . . . . Soni kalo gak salah?" tanya suster Ani. Tapi kulihat dia segera tampak menyesali antusiasmenya yang berlebihan saat menyebut nama itu. Wajahnya bersemu merah. Jelas dia juga terpesona oleh Soni. Hebat! Fans baru, pikirku kecut.
"Dia bukan kakakku sus," jawabku pelan.
"Suster kira dia kakakmu lho! Waktu dia datang menggendongmu, kebetulan suster yang jaga. Kamu nggak inget ya?Dia tiba-tiba datang menerobos dari luar, padahal hujan yang deras, dan mengatakan butuh bantuan. Kalian berdua basah kuyup. Kamu meringkuk dengan kepala ditutupi jaketnya. Tanganmu menggengam jaketnya sangat erat, kaku tak bisa dilepas. Kami harus menyuntikmu dengan obat penenang. Kamu berulangkali memanggil namanya. Dia menungguimu disini lho. Sampai temen-temenmu dateng. Dia gak mau pergi sampai dokter memastikan kalau kamu sudah stabil. Suster pikir saudaramu. Khawatir banget sih. Dan. . ."