Bab 13

164 20 3
                                    

Pagi itu ketika aku baru saja selesai ganti pakaian dengan seragam harianku, jeans dan t-shirt, pintu kamarku di ketuk pelan.

"TJ?!! Udah bangun?" panggil Soni. Aku tak menyahut, tapi langsung berjalan untuk membuka pintu.

Tuhanku!!

Kembali aku harus memanggil namaMu kali ini. Pagi ini Soni muncul dengan setelan baju yang mirip pakaian berburu yang berkesan sporty. Celana warna abu-abu kehijauan yang pas di kakinya, kemeja putih army cut dengan lengan panjang yang membuatnya tampak cemerlang membungkus tubuh atasnya. Baju itu membuat kulit bersihnya jadi lebih bersinar dengan siluet cahaya pagi. Wajahnya tampak segar. Dan senyum yang terkembang itu begitu menakjubkan. Harum tubuhnya yang biasa kembali memasuki indra penciumanku.

Ya Bunda! Tolong anakmu ini!! Desahku dalam hati.

"Lho? Udah mandi rupanya. Gimana tidurmu?"

"Sempurna," kataku pelan. Aku tak punya komentar lain yang bisa aku ucapkan. Semua kosakata yang aku miliki menguap begitu saja.

"Great! Ayo kita sarapan dulu. Setelah itu, kita bisa jalan-jalan keliling perkebunan," ajaknya dan mendahuluiku.

Aku hanya mengikutinya saja tanpa berkata apa-apa lagi. Dia bilang mau jalan-jalan ke perkebunan, tapi kok dia lebih mirip orang mau pemotretan gitu sih? gerundengku dalam hati. Sarapan kali ini, kami hanya makan sereal dan susu. Seumur-umur, baru kali ini aku makan pagi model begini. Meski mulanya agak terasa aneh karen masih baru, tapi lama-lama aku menikmati rasanya yang tidak biasa. Meski jelas kalau di rumah, aku tak akan pernah melakukannya lagi. Mumpung bareng Soni. Aku nikmati saja sarapan ala orang modern gini, batinku lagi.

Setelah sarapan, Soni mengajakku untuk ke belakang rumahnya. Dan makin mendekati bagian belakang, samar-samar aku bisa mendengar suara ringkikan kuda. Suara itu makin terdengar jelas saat kami mendekati pintu belakang. Dan keherananku akan pakaian Soni pun terjawab. Pakaian yang dia kenakan itu bukan baju berburu. Itu baju buat berkuda. Sepatu bootsnya juga!

Sontan aku berhenti melangkah.

"Son..............yang kau maksud jalan-jalan tadi, adalah jalan-jalan dengan menggunakan kuda?"

"Tentu. Kan lebih enak. Sekalian olah raga."

Aku mendengus keras dan segera berbalik. Tapi aku kalah cepat dengan Soni yang segera menahan lenganku. Aku mencoba mengibaskannya dan gagal, "Aku nggak bisa berkuda!" kataku sedikit keras akhirnya dengan nada sedikit kesal.

"Lho. Ntar aku ajarin kan? Cuma buat jalan-jalan aja. Bukan adu cepat," sahutnya santai.

"Tetep saja. Aku juga gak mungkin bisa langsung melakukannya saat ini juga kan? Gak mungkin juga aku bisa ahli dalam beberapa menit kan? Jangan gila dong!" gerutuku lagi.

Soni tertawa kecil melihatku merengut marah, "Kamu pasti bisa. Gak sulit kok. Lagipula kudaku jinak dan pintar."

"Thank you, but no. Thanks!" jawabku singkat akan tawarannya dan kembali berbalik. Tapi sekali lagi, Soni menahan. Kali ini meraih tanganku dan menarikku pelan.

"Percayalah. Kau akan menyukainya. Ayo..." katanya dengan nada membujuk.

Aku mengerang keras di buatnya. Aduh Bundaaaa!!! Bagaimana aku bisa menolaknya kalau dia begituu?!!! Apalagi dia memandangku dengan tatapan meminta seperti itu. Aku hanya mampu menghela nafas. Okay! Ini Cuma naik kuda kan? Aku pasti bisa kan? Lagipula, kapan lagi aku bisa melakukan hal begini kan? Pikirku dan akhirnya hanya bisa mengikuti Soni.

Dan aku menyesali keputusanku itu!!

Soni hanya memiliki 2 pasang kuda. Dan ke empat-empatnya adalah jenis kuda pacuan yang gedenya bisa bikin aku nelen ludah. Aku buta sama sekali soal kuda. Tapi aku bisa mengatakan kalau kuda-kuda Soni berukuran super. Tinggi kuda itu saja sudah melebihi tinggiku. Dan dia mengenalkan mereka padaku dengan bangga. Theodore, Casey, Armand dan Hitam.

THE MEMOIRS (a gay chronicle)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang