Bab 10

166 20 0
                                    


Hari ini aku kembali pulang sendiri karena piket buat bersihin kelas. Sekolah sudah sunyi. Hanya ada satu dua orang yang mengikuti kegiatan ekstra. Sebagian besar ada di lapangan olah raga. Wina dan yang lain udah ngilang dari tadi. Mereka pergi les bareng. Aku yang tak memiliki kemampuan buat ikutan les hanya bisa angkat tangan. Sebenernya tadi mereka menawarkan diri buat bolos les dan hang out bareng. Mereka agak gak enak hati melihatku. Tapi aku yakinkan mereka kalau aku baik-baik saja dan Cuma lelah.

Seberapapun dekatnya aku dengan mereka, aku tak mungkin cerita kalau aku menyukai...

Langkahku terhenti saat ku dengar keributan dari arah lapangan parkir. Disana aku melihat Soni sedang berkelahi dengan 5 orang. Salah satunya Brino!

Ini pasti buntut dari insiden kemarin! Apa yang harus aku lakukan?!! Pikirku panik.

Lalu ku lihat 2 orang teman Brino berhasil memegang tangan Soni. Brino yang mendapat angin, langsung beraksi. Bogemnya berkelebat dan menghantam perut Soni, membuatnya tersungkur. Dan satu lagi mengenai sisi wajah Soni sehingga dia jatuh terjungkal.

"BERHENTI!!!!" teriakku ngeri saat kulihat Brino mengangkat kursi kayu yang biasa dipakai oleh tukang parkir duduk, dan hendak menghantamkannya pada Soni.

Aku tak tahu apa yang ku pikirkan. Aku hanya berlari sekencang mungkin dan kemudian melompat. Menjatuhkan tubuhku di atas tubuh Soni yang terjatuh. Mencoba melindunginya! Dan suara hantaman keras diikuti suara berderak terdengar.

Rasanya seperti dibanting ke sebuah tembok. Nafasku terhenyak dan sesak. Mataku perlahan-lahan mengabur.

Setelah itu aku tak tahu pasti apa yang terjadi. Hanya samar-samar ku dengar suara orang-orang berteriak, beberapa dari mereka berlarian dari kejauhan.

Dan kemudian, semuanya menjadi gelap. Tak terlihat!

Saat aku membuka mata, aku sudah berada di ruang UKS sekolah. Tempat siswa-siswa yang biasanya cedera diistirahatkan.

"Kau sudah sadar?"

Aku tak bisa menjawabnya langsung. Butuh beberapa saat bagiku untuk menyadari bahwa yang menanyakan hal itu adalah Andri.

"Kenapa aku disini?" tanyaku pelan dan mengernyit saat kepalaku berdenyut sakit dan punggungku terasa ngilu.

"Masih belum ingat apa yang terjadi?" tanya Andri balik

Aku menatapnya heran. Dan setelah beberapa detik, akupun terjingkat, "SONI!!! Bagaimana ....."

"Aku tak apa-apa."

Sahutan itu datang dari arah kananku. Soni yang duduk bersandar pada tembok menatapku datar. Ku lihat ada luka di sudut bibirnya.selain itu, dia terlihat baik-baik saja. Hanya sedikit pucat dan kotor bajunya.

"Kau baik-baik saja? Tadi ku lihat kau jatuh dan..."

"Andri, bisa tinggalkan kami sebentar," pinta Soni pada temannya, memotongku. Andri tak berkata apa-apa lagi. Hanya mengangkat bahu dan kemudian meninggalkan kami berdua.

"Bagaimana Brino dan yang lainnya?" tanyaku lagi.

"Pihak sekolah dan kepolisian sudah mengurusnya. Masalah itu sudah di luar wewenang kita," jelas Soni singkat.

Aku menghela nafas lega mendengar penjelasannya, "Syukurlah kalau mereka yang menangani masalahnya. Ini pasti gara-gara kejadian kemarin kan? Maaf ya? Kamu jadi ikutan susah karena membelaku," pintaku dan memandangnya langsung, tapi langsung segera memalingkan muka seperti biasanya, karena Soni juga tengan melihatku. Aku mengalihkan pandanganku ke langit-langit ruangan, "Aku yang membuat Brino dan gerombolannya marah."

THE MEMOIRS (a gay chronicle)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang