Pagi itu aku kembali bangun dengan perasaan ringan dan senang. Apalagi dengan ingatan tentang kebiasaan baru yang Soni lakukan sebelum kami tidur, mencium keningku. Ciuman lembut sama yang selalu membuatku terjaga untuk beberapa saat lamanya. Menikmati dan meresapi ciuman itu. Mengenang sensasi lembut bibirnya yang menyentuh keningku, sembari berbaring miring, memunggungingya. Aku khawatir jika aku tidur menghadap ke arahnya, aku tak akan mampu menahan godaan untuk tidur dalam pelukannya. Guling yang menjadi pembatas kami terkadang terlihat sebagai penghalang yang menyebalkan. Semalam aku malah sempat terjaga sebentar, dan baru merasa lega dan tenang setelah mendengar desahan lembut nafas Soni yang teratur. Dia terlelap dengan begitu damainya disebelahku.
Aku terjaga karena kembali bermimpi tentang Soni. Mimpi dimana tubuh kami berdua menyatu dalam keadaan polos. Nyaris aku masih bisa merasakan begitu nyatanya rasa disaat kulit kami bergesekan. Belaian lembutnya ditubuhku terasa begitu nyata. Bahkan ingatan akan ciuman bergairah kami dalam mimpi bisa membuatku tersipu sekarang.
Aaahhh......!
Satu sisi diriku merasa begitu kotor, jijik dan malu. Sementara sisi lainnya begitu berharap agar mimpi-mimpi itu terus datang setiap malam dan menjadi nyata.
Aku harus memaksa diriku untuk bangkit dari kehangatan tempat tidurku dan mandi. Saat aku baru saja mematikan shower, aku mendengar suara Soni yang memanggilku.
"Sebentar!! Mandii!!" jawabku seraya mengikat jubah mandi yang ku kenakan. Aku meraih handuk untuk mengusap rambut basahku dan keluar, "Darimana?" tanyaku pada Soni yang duduk ditepi ranjang sembari menonton tv.
"Ngambil barang kita yang dibawah. Dari Hartnell," kata Soni dan menunjuk pada tumpukan kotak disamping tempat tidur, "Sudah jam sepuluh. Ayo cepat. Kita cari sarapan lalu lanjut touring-nya."
"Aku ganti baju dulu," tukasku dan meraih baju ganti yang aku siapkan di atas tempat tidur.
Selesai sarapan di restoran yang ada dibawah ( kami makan croissant, roti lapis daging dan susu coklat hangat yang membuatku berpikir kalo orang-orang Eropah itu suka makanan ringan. Sebagai orang Indonesia, aku dibilang belum makan kalau belum ada nasi yang masuk ke perut), kami melaju dijalanan kota Paris.
Siang ini Paris mendung. Matahari hanya bersinar sebentar. Udarapun terasa dingin. Terlalu dingin bagi aku yang berasal dari negara tropis. Untung saja mobil yang kami sewa memiliki mesin penghangat.
Dari jauh aku melihat menara Eiffel yang menjulang, hingga kemudian kami tiba di persimpangan Rue de Rivolli. Mobil terus melaju ke arah pepohonan Rue Castiglione yang menurut Soniadalah gerbang utara untuk masuk ke sebuah taman yang terkenal, Taman Tuilerier. Kalau orang-orang di New York memiliki Central Park, maka taman Tuilerier adalah central park-nya orang-orang Paris. Taman itu tak begitu ramai hari ini. Mobil terus melaju mengelilingi sebuah kolam bulat yang ada disana. Kami lalu sampai ke ujung taman yang ditandai dengan sebuah gerbang batu, Arc du Carrousel. Gerbang yang sempat membuatku meminta Soni menghentikan mobil untuk berfoto.
Soni lalu menunjuk ke sebuah gedung megah dikejauhan, "Kita kesana. Musee du Louvre."
Kosakata bahasa Perancisku memang miris, tapi bahkan aku bisa menebak arti dari kata-katanya tadi, "Museum?" tanyaku kemudian saat kami kembali melaju.
Soni mengangguk, "Kamu tau Louvre? Louvre adalah salah satu museum paling terkenal didunia. Tau nggak, kalo Louvre juga merupakan gedung terpanjang di Eropah? Panjangnya 3 kali menara Eiffel kalau ditidurkan."
Aku bengong dengan mulut terbuka, membuat Soni yang melihatku sekilas jadi tersenyum geli, "Bercanda kan?"
"Serius!" tegas Soni, "Ada plaza terbuka seluas sejuta kaki diantara sayap-sayap museum Louvre. Dan plaza itu bahkan tidak bisa menyaingi luas bagian muka museum. Kalau ditotal, ada sekitar 65.300an benda seni yang ada dalam museum Louvre. Kalo kamu pengen melihatnya, mungkin kamu butuh sekitar 5-6 hari untuk bisa melihat semuanya."