Bab 21

138 18 1
                                    

Aku baru mengerti sekarang, kenapa Soni menyukai Hartnell. Mereka benar-benar tahu bagaimana membuat baju yang nyaman. Setelan yang ku pakai terasa sangat pas, membungkus tubuhku dengan lembut. Potongan bajunya juga tidak membuatku kaku atau sulit bergerak. Semula aku pikir aku akan merasa seperti tercekik dengan setelan resmi begini. Kini, justru aku merasa sebaliknya. Meski tadi sempet minta bantuan Soni untuk mengajari mengenakan dasi. Karena seumur-umur aku belum pernah diharuskan untuk menggunakan dasi panjang dengan setelan tuxedo begini.

Begitu keluar dari kamar mandi, aku mendapati Soni yang berdiri didepan cermin, sedang mematut diri. Sama denganku, dia memakai kemeja berkerah dengan dasi yang dibaut dengan jas . Kemejanya berwarna coklat gelap, sementara punyaku putih, dan terlihat menyatu dengan jas hitamnya. Aku memandang pantulan tubuhnya yang terlihat dicermin. Seperti biasa, dia tampak menawan.

Soni.........

Begitu beradab, dewasa dan................elegan. Baru kali ini aku melihatnya dalam setelan resmi. Potongan jas yang dia kenakan seakan mempertegas bahu lebarnya. Menampilkan lengkung dari bahu, menyempit di bagian pinggangnya. Aku baru memahami apa yang disebut dengan V shape saat melihatnya. Kemejanya yang terkancing rapi, entah mengapa membuatku berpikiran untuk membuka kancing-kancingnya, menyapukan tanganku ke dadanya yang bidang. Rambutnya telah tertata rapi, basah dan berkilat. Perpaduan penampilan dewasa yang jauh dari kesan tua dan aura remajanya, menimbulkan efek yang memaksaku untuk membasahi bibirku yang kering mendadak.

Dia begitu sempurna! Batinku dengan perasaan yang sedikit tercabik. Apalagi saat dia berjalan mendekatiku dengan langkah khas-nya. Harum parfum yang tercium oleh hidungku masih sama. Hanya saja, kali ini di tunjang oleh penampilannya sekarang, harum itu menimbulkan kesan berbeda. Jauh lebih menggoda.

"Dasinya nyaman? Gak bikin tercekik?" tanya Soni. Aku yang tak percaya diri untuk mengeluarkan suara, hanya menjawabnya dengan gelengan. Dia memperhatikanku sejenak, "Begini saja............" Soni mendekat dan tiba-tiba saja tangannya terulur dan membuka dasiku. Dia lalu membuka dua kancing kemejaku yang paling atas. Aku masih terdiam kaku, merinding oleh sensasi aneh yang merambatiku saat dia membuka kancing kemeja yang kukenakan. Pikiranku langsung membayangkan hal-hal ngawur luar biasa. Perutku bergejolak dengan hebat. Cepat aku melangkah mundur dengan wajah sedikit menunduk.

"Kenapa?" tanya Soni heran saat aku cepat-cepat menjauhkan diri.

"Kok dibuka sik? Butuh lebih dari sepuluh menit bagiku buat pasang dasi itu tadi!" gerutuku dan memandang bayanganku dicermin, berusaha sebisa mungkin untuk menghindari matanya.

Soni tertawa kecil, "Aku hanya takut kamu nggak nyaman. Kita lepas saja dasinya," ujar Soni. Saat aku meliriknya, dia mengendurkan dasi yang dia pakai, melepasnya dan kemudian membuka dua kancing atas kemejanya. Aku bisa melihat sekilas kulit dadanya yang terlihat kontras dengan warna gelap kemejanya. Dan seketika itu juga, aku membayangkan tanganku menempel disana.

Gila!!

"Kamu punya gel rambut kan?" kataku cepat, mencoba mencari subyek aman.

"Kan ada dikamar mandi," jawab Soni singkat.

Aku hanya nyengir dan cepat-cepat kembali masuk kekamar mandi, untuk menata rambut dan juga pikiranku. Dan mengingat penampilan Soni yang resmi namun toh terkesan casual tanpa dasi, aku menata rambutku dengan sedikit mengacaknya.

"Ayo kita pergi," ajak Soni begitu aku kembali muncul.

Aku tak bisa menahan decakan kagumku saat kami sampai ditempat tujuan. Soni mengajakku ke sebuah kasino! Dan sepertinya juga bukan kasino biasa, karena aku melihat sebuah antrian panjang yang menunggu untuk masuk di depannya. Semula kukira kami akan ikut antri, namun Soni langsung menunju penjaga dan menyebutkan namanya. Kami di persilahkan dengan segera.

THE MEMOIRS (a gay chronicle)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang