Bab 8

157 21 4
                                    

Hari sabtu kembali tiba. Dan sudah satu minggu ini semangat belajarku hilang. Seperti pagi ini, ketika tiba ditempat dudukku, dengan sendirinya, mataku bergerak melihat ke arah lapangan parkir. Tak ada. Tak ada motor gede Soni disana. Sosoknya kembali terlihat seperti satu minggu kemarin.

Duh...! kok jadi belingsatan sendiri gini sih? Baru juga satu minggu gak ketemu, tapi kok aku jadi ngerasa kehilangan banget gini? Dari hari pertama kepergiannya, sejak aku diantar pulang olehnya waktu itu, tidak sekalipun kulewatkan hari tanpa melirik ke lapangan parkir atau kelasnya. Dan itu kulakukan tanpa sadar. Seakan-akan otakku sudah menyetel tubuhku dengan program otomatisnya. Minim 10 kali sehari. Dan tak seharipun pagi berlalu tanpa ada doa kecil kulantunkan, agar dia segera kembali dari Singapura. Bahkan kini mulai ada kekhawatiran kalau dia tak akan kembali lagi kesini. Kalau dia akan menetap dan melanjutkan sekolahnya disana! Dia memiliki kemampuan untuk hal itu.

Sial!!

Teman-temanku yang lain juga mulai heran melihat kondisiku yang jadi lebih mellow dan agak-agak kalem akhir-akhir ini. Tidak sedikitpun aku menceritakan perihal kedekatanku dengan Soni pada mereka. Ataupun fakta bahwa Soni ternyata kalangan jet set yang sudah pernah berkeliling ke beberapa negara di luar sana. Dari apa yang aku tangkap, Soni sangat merahasiakan identitas dirinya dari orang lain, temasuk anak-anak sekolah. Jadi secara instingtif, aku mengikutinya. Dan karena anggota gengku yang lain tak tahu apa yang terjadi padaku, sedikit banyak mereka jadi heboh sendiri dengan kelakuanku.

Apalagi si Wina!

Segala daya dan upaya sudah dia coba lakukan untuk mengembalikan moodku. Dari tanya baik-baik, mencela, sampai cara-cara primitif ala manusia gua sudah dia lakukan. Contohnya melempar buku diktat tebal ke mukaku, tiba-tiba berteriak keras-keras di telingaku, mendorongku dari bangku, sampa menjitakku dengan segenap tenaga. Semua kutanggapi dengan angin-anginan dan males. Jelas saja dia gak terima. Dia tahu kalo dalam situasi normal, aku gak bakalan ikhlas jika satu atau dua hal itu dia lakukan padaku. Hari ini, entah cara apa yang akan dia coba.

"TJ!!!!"

Nah tuh! Terdengar suara gedubrakan Wina yang ngebut lari menuju bangkuku. Dasar cewek sableng. Baru juga masuk kelas, udah bikin heboh. Heran!

"Gua tahu kalo ini bakal bikin lo sadar dari kesambet lo," bisiknya sambil ngos-ngosan pas di mukaku hingga hawa naga dari mulutnya menerpaku tanpa ampun.

"Congor lo bau jigong, dan gua males naggepin apapun ide gila yang ada di otak lo saat ini. Hush!!!," usirku cuek dan menutup wajahku dengan diktat Inggris yang barusan ku ambil dari tas.

"Liat dulu DODOL!!!" bentak Wina dongkol dan merebut bukuku. Dia menarikku berdiri dan menghadapkanku ke arah lapangan parkir.

DIA DATANG!!!!

Dari gerbang sekolah, ku lihat sepeda motor Soni melaju dengan pelan. Mataku langsung terbuka lebar, mengikuti gerakan motor yang serasa bergerak dalam mode slow motion. Dan dengan semakin dekat motor itu ke kelasku, mulutkupun ikut terbuka semakin lebar.

Pagi ini Soni datang dengan helm yang sudah ia lepas dan diletakkan di depan tubuhnya. Yang membuatku bengong melompong adalah wajahnya. Wajah yang biasanya bersih dan mulus itu sudah hilang. Cambangnya dia biarkan sedikit tumbuh sampai pada bagian bawah telinganya. Sebagian kumisnya juga tampak membayang dan dibiarkan membentuk garis yang tumbuh memanjang dan menyatu dengan janggutnya. Wajahnya yang kemarin terlihat imut selayaknya anak sekolahan, kini terlihat jantan dan dewasa dengan titik-titik kebiruan yang membayang di sisi wajahnya itu. Dan dengan semua atribut manly itu, dia yang biasanya sudah terlihat jauh, sulit di dekati, kini jadi semakin tajam, dingin dan nyaris aristokrat. Dia tidak terlihat seperti anak sekolahan. Apalagi ditambah dengan rambutnya yang tersisir rapi, basah mengkilat dengan sedikit rambut yang jatuh ke dahi.

THE MEMOIRS (a gay chronicle)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang