Pagi ini, bahkan saat mataku belum terbuka, kurasakan hawa hangat yang menyenangkan mengalir dari arah depanku. Hawa yang begitu nyaman dan membuatku malas untuk membuka mata. Tapi aku memaksa mataku untuk membuka dengan perlahan. Aku lihat Soni berbaring miring, menatapku dengan senyum lembutnya.
"Morning," sapanya pelan dan mendekatkan wajahnya untuk menciumku. Aku mengerang dan buru-buru menyembunyikan wajahku ke bantal.
"Morning breath," gumamku sedikit serak karena kantuk yang masih menggelayut.
Soni tertawa kecil, "Cepat bangun. Mau jalan-jalan keliling Bordeux lagi kan?" tawarnya sembari mencium kepalaku dan mengusap punggungku sekilas, untuk kemudian bnagkit, "Dan jangan lupa, malam nanti kita harus ke pesta Chantal."
"Malam ini?" tanyaku dan mengangkat muka.
"Yup! Nanti sekalian kita ambil tuxedo kita. Aku mandi dulu," kata Soni dan berbalik.
"Son!" panggilku sebelum dia benar-benar menghilang dibalik pintu kamar mandi, "Gimana kalau kamu kasih aku kursus kilat tentang gimana aku harus bersikap nanti di pesta? I don't wanna be the clown of the party."
Soni tersenyum paham, "You won't be," katanya dan menghilang.
Apa Perancis memang gudangnya desainer dunia? Pikirku sembari mematut diri didepan cermin. Setelan tuxedo yang kami pesan kemarin benar-benar nyaman dipakai. Jahitannya rapi tanpa cela. Dan aku harus mengakui kalau aku nyaris tak mengenali bayanganku di cermin. Aku yang biasanya sudah merasa super kece denganjeans dan t-shirt, kini kembali merasa begitu berkelas, beradab dan elegan dengansetelan yang ku kenakan. Dengan kemejanya yang terkanji rapi, dasi sutra kupu-kupu yang ku pakai, rompi, manset dan jasnya, begitu pas membentuk satu kesatuan yang utuh dengan celana, sepatu serta aksesoris lainnya yang kini melekat ditubuhku. Bahkan sapu tangan putih dari sutra yang sedikit tersembul di saku jasku dalam bentuk segitiga terasa melengkapi dengan pas.
"Kalo Bunda ngeliat, bisa pingsan," gumamku geli tanpa mampu menahan cengiranku. Dengan bersenandung kecil aku mengusapkan gel pada rambutku yang sedikit basah dan menatanya, "And I'm ready to rock," lanjutku lagi setelah selesai menyemprotkan parfum.
Soni tadi bilang kalau dia akan menunggu dibawah. Aku tak mendengar suara apapun saat aku turun dari tangga hingga jadi sedikit heran.
"Son?!! Soni?!!" panggilku, sedikit keras.
"Here!"
Sahutan itu terdengar dari ruangan di dalam. Kalau tak salah dari perpustakaan, pikirku sembari melangkah. Yup. There he is! Dia berdiri disamping perapian sembari menatap sebuah photo berukuran besar. Photo dari Jean Phillipe Damian Duianne, ayahnya. Lelaki yang memiliki garis wajah yang mirip dengan Soni. Dengan senyum hangat yang akhir-akhir ini juga sering kulihat pada Soni. Bukan wajah dingin, muram dan melankolis seperti saat pertama kali kami bertemu.
Aku tak langsung memanggilnya. Aku diam memandang sosoknya dari samping. Profil wajahnya yang sempurna, bahu yang lebar, dada bidangnya. Lengan, perut, hingga kaki panjangnya. Terbungkus dalam setelan resmi yang rapi. Kemeja hitam tanpa dasi, jas serta celaa senada, membuatnya terlihat lebih langsing dan tinggi. Rambutnya pun sudah tertata rapi dan berkilat. Dia Adonis hidup yang membuat perasaanku jungkir balik tak karuan. Orangyang telah 2 kali meyakinkanku bahwa dia...........mencintaiku.
Soni yang sepertinya sudah menyadari kehadiranku, menoleh dan membalikkan tubuhnya. Dia menelusuriku dari aas ke bawah dengan seksama. Dan saat mata nya kembali bertemu dengan mataku, mata itu melebar dengan senangnya. Dia menyukai penampilanku.
Astaga!! Melihat sinar matanya, aku bahkan bisa berpikir kalau dia terpesona padaku.
Perlahan dia melangkah, mendekat ke arahku, hingga akhirnya kami berdiri berhadapan. Aku menarik napas panjang untuk menenangkan diri.