Bab 6

165 22 1
                                    

Dan disinilah aku. Siang ini untuk pertama kalinya, aku pulang terpisah dengan geng-ku. Sebenerna Wina tadi menawarkan diri untuk menemani saat ku katakan kalau au harus mengerjakan sesuatu sepulang sekolah. Aku tak bisa mengatakan kalau aku memiliki temu janji dengan Soni. Aku hanya mengatakan kalau Cuma ada keperluan kecil dan tak usah khawatir kalau aku bakal di culik. Wina dan yang lain hanya mendengus keras dan mengatakan bahwa hanya orang kurang kerjaansaja yang mau menculikku.

Dan aku sudah menunggu selama setengah jam, tapi Soni belum muncul juga. Ughh!! Mana udara panas gini, gerundengku dalam hati. Entah sudah berapa kali aku celingukan, kali-kali aja motor Soni nongol dari tikungan ujung sana.

Sepuluh menit kemudian, aku sudah tak bisa menahan diri lagi. Sekolah sudah sepi banget. Cuma ada segelintir anak yang ada di dalam untuk kegiatan ekstra. Aku sudah garing dan nyaris pingsan di jemur di depan gerbang begini.

"Sial!!" umpatku pelan. Dengan lesu, aku berjalan untuk pulang. Batinku mengeluarkan berbagai macam gerutuan, bercampur dengan dugaan-dugaan saling tumpang tindih.

Apa dia lupa? Atau malah sengaja ngerjain doang? Kalo emang begitu, aku harus membalasnya. Bagaimana kalau ancaman tadi aku realisasikan? Aku tulis nomor teleponnya di kertas manila putih gede, lalu aku tempel di papan pengumuman sekolah. Atau di majalah dinding sekolah. Biar semua orang tahu. Biar Soni diterror oleh para groupiesnya yang sinting. Tau rasa lo ntar!! Atau gue...

"HEIII!!!!" aku berteriak kaget saat sebuah sedan mewah puegeot nyelonong dari belakang dan memotong jalanku, "NYETIR PAKE MATA DONG?!!!" makiku kesel. Aku sudah bersiap-siap buat misuh saat jendela mobil itu terbuka. Dan kulihat didalamnya! NJIIIIIRRR!!!!

"Masuk," katanya singkat. Irit seperti biasanya.

Aku hanya menurut dan masuk ke dalam mobil itu dengan gerakan pelan. Gila!! Jok-nya dari kulit dan empuk, nyaman luar biasa. Baunya juga wangi, batinku dan mengedarkan pandangan. Tapi pandanganku kemudian tertumbuk pada Soni yang ada di belakang kemudi. Aku memperhatikannya hingga kemudian menyadari ada sesuatu yang salah dengannya, "Kamu.........gak apa-apa?" tanyaku kemudian. Dia tampak kepayahan seperti orang yang baru saja berlari marathon. Keringat membasahi dahi dan lehernya. Sebagian wajahnya juga basah. Dari luar tadi aku tak melihatnya. Bahkan saat aku pertama kali masuk, tertutup oleh kaca mata hitamnya. Lagipula, aku terlalu bengong dengan batin bersorak, CAKEPNYAAAA!!!

"Sorry..................aku telat. Aku diare beberapa hari ini, jadi agak lemas," katanya pelan. Dia tak langsung menjalankan mobilnya. Dia malah menghela nafas panjang lalu menelungkupkan wajahnya ke setir.

"Son...." panggilku cemas.

"Bisa nyetir?" tanya Soni tanpa mengangkat wajahnya.

"Enggak," jawabku kemudian. Boro-boro mobil, motor aja masih kagok, lanjutku dalam hati, "Kenapa Son?"

"Aku lemes banget," keluhnya dengan nafas yang terdengar agak memburu. Aku yang jadi tak tega melihatnya, meraih beberapa tissue dari dashboard dan mengusap lehernya. Tubuh Soni menegang untuk sesaat, membuatku sadar akan kelancanganku. Aku meminta maaf pelan, membiarkannya mengusap sendiri keringatnya.

"Kamu berkeringat banyak banget, Son. Aku harus gimana? Aku gak bisa bawa mobil," kataku cemas. Aku hanya mengambil lebih banyak lagi tissue untuk kuberikan padanya. Tangan Soni yang bersentuhan denganku begitu dingin. Aku memberanikan diri untuk kembali membantunya mengusap keringatnya yang kini bermanik lagi dalam hitungan detik.

".................udah gak apa-apa. Tunggu bentar, ok? Habis ini aku antar kamu pulang," ujarnya sembari menyingkirkan tanganku tanpa sekalipun mengangkat wajah.

"Kalo gitu, kamu istirahat ke tempatku aja dulu."

"Nggak. Aku harus pulang," tolak Soni dan mengangkat muka.

THE MEMOIRS (a gay chronicle)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang