Bab 24

150 18 11
                                    

Entah karena lelah atau apa, aku ternyata bisa tidur untuk beberapa jam lamanya. Ketika aku terbangun, jam sudah menunjukkan jam 8 malam. Dan aku kembali tidak mendapati Soni didalam kamar. Dia baru datang 1 jam kemudian dengan penampilan yang lain dan ajaib, meski entah bagaimana, masih aja terlihat keren. Dalam hati aku hanya bisa bertanya, kok bisa ya? Dia datang dengan celana jeans hitam, sepatu boat dengan warna yang sama, t-shirt putih polos dan di balut dengan jaket kulit. Kesemuanya membungkus tubuhnya dengan apik.

"Are we gonna watch a rock and roll concert?" godaku dan sedikit tersenyum.

"Sort of," sahutnya nyengir, "Kita dinner ditempat tujuan kita nanti. Kamu siap?"

"Aku harus pake apa?"

"Yang jelas bukan jas resmi. Pake yang kasual saja. Cari yang paling tebal dan jangan lupa syal. Sepertinya cuaca kurang bagus malam ini. Dan kau bisa memakai jaket ini," kata Soni dan mengangsurkan sebuah tas tangan dengan tulisan Hugo Boss. Tas itu berisi jaket kulit tebal yang berpotongan kasual dengan kerah pendek. Super keren!

"It's Hugo!" seruku girang dan langsung memakainya.

"Jangan lupa syal," saran Soni lagi. Aku menurut saja karena tahu kalau dia lebih paham akan situasi di Paris. Kalau dia bilang aku memerlukan syal, sudah bisa dipastikan aku akan benar-benar memerlukannya.

Keherananku bertambah saat kami sampai di depan lobby hotel, aku mendapati sebuah sepeda motor besar terparkir untuk kami. Motor yang jauh lebih keren dengan model racing yang aku jamin bisa membuat teman-teman di sekolah kami ngiler melihatnya. Aku tak bisa membaca merk-nya karena Soni segera saja naik setelah mengenakan helm racing-nya dan menghidupkan motor.

"Ayo naik," katanya dan mengulurkan sebuah helm padaku.

"Kita naik motor?" tanyaku heran, memastikan.

"Lebih cepat dan simpel. Cepet deh," serunya lagi, mendesakku untuk segera mengikutinya naik. Sebentar kemudian, kami telah melaju di jalanan.

Soni benar tentang cuaca malam ini. Paris entah kenapa, terasa lebih dingin daripada malam-malam sebelumnya. Ditambah angin kencang yang menerpa tubuh ketika kami melaju, aku dibuat cukup menggigil. Aku memasukkan tanganku ke dalam saku jaket untuk menahan dinginnya udara. Dan sialnya, cuaca makin menusuk ketika kami sampai di luar Paris. Dan Soni juga makin menambah kecepatan karena tidak lagi banyak kendaraan di sekeliling kami. Kami melaju di jalanan yang sepi. Lampu-lampu jalan di pasang di jarak yang lumayan berjauhan.

"Kamu gak papa? Dari tadi kamu gak pegangan. Nyaman?"

Teriakan Soni sedikit mengagetkanku, "APAA?!!" sahutku tak kalah kenceng.

Soni tak menyahut tapi memelankan laju motornya dan minggir, "Kamu pegangan aja di pinggangku. Atau masukin saja tanganmu ke dalam saku jaketku."

"Apa?" tanyaku lagi, masih dengan nada sedikit kaget. Sejenak aku mengira kalau aku salah dengar. Enak aja dia ngomong. Kan risih! Aku menggerutu dalam hati.

"Udara makin dingin," kata Soni lagi, "Mungkin aku akan sedikit ngebut nanti supaya kita lebih cepat sampai. Kamu gak pengen jatuh kan?"

"Gak papa kok Son. Gak usah. Beneran," sahutku sedikit gelagapan.

"Aku yang apa-apa. Kamu pikir kamu doang yang kedinginan?" gerutu Soni. Lalu dengan cepat meraih kedua tanganku dan memasukkannya ke dalam saku jaketnya. Menekankan keduanya pada pinggangnya, "Pegangan yang kuat, ok?" katanya tanpa memperdulikanku yang jadi sedikit panik.

"Son......"

Protesku langsung lenyap saat kami kembali melaju. Kali ini lebih cepat daripada tadi. Mau tak mau, aku harus mengakui kebenaran saran Soni. Aku mungkin akan jatuh kalau tidak berpegangan padanya. Selain merasakan sedikit kehangatn, aku juga merasa lebih tenang dengan memeluk Soni seperti ini. Dan tanpa sadar, aku memajukan tubuhku, semkain mendekatkan tubuh kami. Memeluknya lebih erat. Aku sedikit menyandarkan kepalaku di punggungnya.

THE MEMOIRS (a gay chronicle)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang