Aku baru masuk sekolah tanggal 5, karena butuh 1 hari penuh bagiku untuk beristirahat. Bukan hanya karena capek. Tapi juga karena perubahan suhu yang drastis. Dan juga untuk menenangkan Bunda yang jadi agak-agak histeris. Pertama kali pulang ke rumah, di antar oleh Soni, Bunda sudah menunggu dengan wajah sedikit kesal dan tak percaya di depan pintu. Begitu aku mencium tangannya, tangan beliau yang satu malah dengan cepat menepuk bahuku dengan keras.
"Keterlaluan!! Kenapa gak pernah telepon? Ga tau Bunda khawatir apa, heh?!!" omel beliau memulai dengan wajah kaku antara marah dan khawatir.
"Sibuk, Bun."
"Maaf Bunda. Soni yang salah.," potong Soni cepat dan meraih tangan Bunda untuk menciumnya juga, membuat keningku berkerut karena Bunda tidak memukulnya sepertiku tadi, "Kami harus pergi ke beberapa tempat untuk menyelsaikan urusan Soni. Biasanya sudah capek banget pulangnya. Jadi gak kepikiran buat telepon."
Bunda hanya mampu mendengus dan menggelengkan kepalanya, "Kalian ini gak tau bingungnya orang tua. Lalu itu semua apa?" tanya Bunda sembari menunjuk pada 4 buah koper besar yang kami bawa.
"Oleh-oleh buat Bunda, Wina dan yang lain," sahutku cepat, "Kita udah beliin oleh-oleh bagus lho buat Bunda. Bunda pasti suka. Iya kan, Son?" kataku meminta dukungannya dan memberinya tanda dengan kerlingan mata .
"Iya, Bun!" jawab Soni yang tanggap.
Bunda merengut, "Memang kalian pikir, kalian bisa menyuap Bunda dengan oleh-oleh?" gerutu beliau sembari membnatu kami memasukkan koper ke dalam, "Kalian sudah makan?"
"Tadi..........."
"Belom Bun!" potongku cepat dan melirik Soni, memberinya isyarat lagi dengan kerlingan mata, "Kan kangen masakan Bunda. Jadi kita mau makan disini."
"Ya sudah. Ini barang-barangnya ditaruh ke akmarmu saja dulu. Terus kalian amkan."
Malam itu kami menceritakan pada Bunda karangan yang sudah kami persiapkan sebelumnya. Bahwa kami ke perkebunan Soni untuk mengurus beberapa masalah. Semua hal dan oleh-oleh yang bertuliskan kalau kami berada di Paris, sudah kami singkirkan sebelumnya.
Jujur aku merasa kalau beberapa hari yang kami lewatkan di Paris adalah mimpi. Bahkan saat aku mengantar Soni kembali ke mobilnya, pikiranku masih melayang.
"Aku benci kembali ke rumah," gerutu Soni pelan saat kami tiba di dekat mobilnya, membuatku sedikit kaget.
"Heh? Apa? Kenapa?"
"Nggak ada kamu disana," kata Soni dengan wajah kesalnya, hingga aku tak sanggup menahan senyumku.
"Aku juga merasa begitu kok," kataku dan membukakan pintu mobil untuknya.
Soni menghela napas dan masuk, "Oh ya. Ada yang kelupaan," kata Soni ketika dia hendak memasukkan kunci kontak mobilnya. Dia memberiku isyarat untuk mendekat. Terheran, aku menunduk. Sedikit kaget karena tiba-tiba Soni menarik kerah leher bajuku dan memberiku sebuah ciuman cepat.
Aku segera melepaskan diri dan melihat ke sekeliling kami yang untungnya, sepi.
"Ada yang liat ntar," bisikku.
Soni tersenyum jahil, "Who cares? Aku pulang," katanya.
Aku mengangguk dan diam disana hingga mobilnya hilang.
Pagi harinya, Soni menjemputku dengan mobilnya untuk berangkat ke sekolah, karena kami harus membawa oleh-oleh untuk Wina dan yang lainnya. Jadi tak mungkin kalau kami bawa motor. Dan sesampainya di sekolah, kembali aku merasakannya. Atmosfir lama yang hampir kulupakan. Banyak mata yang memperhatikan kami. Memperhatikan Soni lebih tepatnya. Beberapa malah tak canggung-canggung untuk berbisik, kasak kusuk, dan menunjuk ke arah kami. Tapi seperti biasanya, Soni tak acuh. Aku hanya bisa meniru sikapnya.