Bab 16

122 18 4
                                    

Flu yang disebabkan oleh hujan waktu itu ternyata membandel. Hari ini, aku menyerah. Aku benar-benar merasa tak sanggup untuk sekolah. Bunda yang sudah tahu dari suaraku, langsung menyuruhku untuk tinggal dirumah. Walhasil, seharian ini kerjaanku hanya diam dikamar. Dan itu benar-benar membosankan. Aku sudah merasa jenuh luar biasa setelah jam 11 ke atas. Dengan tubuh yang terasa mendingan karena telah minum obat, aku puuskan untuk ke ruang tengah menontotn tv. Sial!! Padahal seminggu lagi ujian, pikirku. Nggak masuk sekolah gini ternyata boring luar biasa. Gak bisa ngumpul ama yang laen. Gak bisa jajan di kantin................

Ataupun ngecengin Soni.

Kalimat itu terlintas begitu saja dibenakku. Segera ku hembuskan nafas dan menepisnya. Seharusnya aku lebih merasa bersalah pada Bunda yang telah aku buat repot. Beliau jadi terlambat masuk kerja. Beliau juga heboh membuatkan aku bubur karena tadi aku langsung muntah begitu makan makanan keras. Aku yang kehilangan selera sebenarnya ingin menolak bubur Bunda. Mulutku terasa pahit dan kering. Tapi usaha beliau membuatku tak tega.

Aku melirik pada jam dinding diatas TV. Jam segini sekolah pasti udah bubar, pikirku. Di waktu-waktu seperti ini, aku and the gank biasanya nongkrong di pinggir kelas untuk ngecengin Soni. Hari ini aku mesti puasa melihatnya. Kok rasanya gak enak banget ya? Gerutuku jengkel. Dari tadi tiduran atau nonton TV mulu. Bosen!!

Aku bangkit dan mask ke kamar dengan langkah kesal. Kujatuhkan tubuhku di pembaringan sembari menyambar ponsel yang ada di atas meja kecil yang ada disebelah ranjang. Ponsel hadiah dari Soni. Hanya ada satu nomer dalam ponsel itu. Nomor Soni. Nomor-nomor kontakku yang lain masih ada di ponsel lamaku.

Tengah asyik memandangi nomor kontak Soni, pintu kamarku terbuka.

"Gimana Nek? Parah?" sapa Wina dengan nada riang dan masuk ke kamarku.

"Lumayan," jawabku nyengir tanpa bangkit dari tempat tidur, "Kok gue gak denger lo masuk tadi Win? Bareng ma siapa?"

"Tadi ketemu Bunda di depan. Katanya beliau keluar sebentar mau beli apaa gitu buat elu abis bukain pintu. Gue sendirian," jawab Wina yang kemudian duduk di sisiku.

"Yang laen?"

"Mereka ada kegiatan klub? Gue bolos," jawab Wina menjelaskan, "Ngapain aja lo seharian tadi?'

"Paling Cuma tiduran, nonton tv, tiduran lagi. Mo ngapain coba Win? Senin besok gue udah masuk kok. Cuma flu ringan ini."

"Syukurlah. Eh ya, tadi gue ketemu Kak Soni," kata Wina pelan, namun langsung membuatku diam membeku, "Dia gak ngomong apa-apa. Waktu gue bilang lo gak masuk karena sakit, dia juga gak komen apa-apa."

Aku hanya mampu tersenyum tipis, "Emang dia harus komentar apa coba? Dia gak bilang apa-apa soal baju itu kan?"

Wina menggelengkan kepalanya, "Dan gue juga gak ngomong apa-apa kok. Jadi tenang aja. Kali ini gue gak bakal ember," serobot Wina mendahuluiku yang sudah hendak membuka mulut untuk mengingatkannya.

Lagi-lagi aku hanya tersenyum tipis, "Thanks ya, Win. And please, jangan ngomong apa-apa juga soal baju itu ama Bunda. Bisa jantungan Bunda ntar kalo tau jumlah uang yang gue pinjem ke lo. Gue pasti bakal segera nyari jalan buat ngelunasin utang gue. Secepatnya. Lo sabar dulu ya, Win?"

Wina mendecak, "Udahlah. Santai aja. Itu uang tabungan gue sendiri kok. Niatnya sih buat persiapan kuliah ntar. Jadi lo masih punya banyak waktu buat ngelunasinnya. Cukup lama ini kan?" canda Wina sembari nyengir.

"Lo yakin gak mau pegang ponsel gue ini dulu buat jaminan?" tanyaku lagi dan menunjukkan ponsel hadiah dari Soni.

"Ngapain sih? Emang lo pikir gue pegadaian apa, pake jaminan segala. Lagipula.........."

THE MEMOIRS (a gay chronicle)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang