Keesokan harinya, geng heboh, Wina dan yang lain langsung menculikku begitu aku nongol di pintu gerbang. Jelas mereka tidak terima perihal kedekatanku dengan Soni yang luput dari penciuman mereka. Pokoknya mereka menginterogasiku habis-habisan. Diselingi dengan jitakan-jitakan gemas yang Cuma bisa kuterima dengan muka pasrah.
Akhirnya aku jelaskan kalau Soni Cuma membantuku bikin laporan Bahasa Indonesia. Kukatakan bahwa dia punya kenalan yang sering bepergian ke luar negeri, karena Soni melarangku untuk mengatakan kalau dialah yang sering ke luar. Dan aku juga menjelaskan bahwa kedekatanku dan Soni di mulai saat aku ikut klub PA, mengingatkan mereka pada insiden yang membuatku tak masuk sekolah beberapa waktu yang lalu.
Wina dan yang lain langsung aja ngamuk, nggak ikhlas begitu tahu kalau Soni adalah anggota PA. Mereka sontan berencana buat ikutan gabung. Tapi begitu melihat jadwal mereka yang penuh, mereka semua kecewa dan mencak-mencak gak jelas.
Aku cuma mampu menanggapinya dengan cengiran kecil dan kembali pasrah dengan cubitan dan jitakan mereka.
Sebenarnya bukan mereka yang ada dibenakku. Pikiranku lebih fokus pada ajakan Soni di akhir pekan nanti. Dia bilang, kami akan pergi ke suatu tempat berdua, dan menginap! Bayangin coba?! Perasaanku campur aduk antara khawatir, tak sabar, bingung dan juga penasaran. Benar-benar kacau!
Dan akhir pekan pun datang dengan kehebohan lain!
Di awali dengan Soni yang tiba-tiba muncul di pintu kelas pada hari sabtu di jam istirahat. Wina dan yang lain kembali misuh-misuh karenanya, membuatku yang melangkah mendekat ke arah Soni, hanya mampu kembali nyengir.
"Ntar kita pulang bareng. Sekalian kamu bisa pamit dan siap-siapin keperluan. Kita berangkat dari rumahku," jelasnya singkat tanpa memperdulikan anak-anak cewek kelasku yang mulai agak-agak histeris dengan kemunculannya. Entah dia benar-benar sudah terbiasa, atau emang cuek sudah menjadi bawaan lahirnya. Dia cool aja dengan reaksi beberapa cewek teman sekelasku yang dengan terang-terangan memberi kode keras.
Aku mengangguk, "Ok!" jawabku tak kalah singkatnya. Soni segera berlau di iringi dengan beberapa komentar usil anak-anak. Wina dan yang lainnya segera saja menarikku dan ribut nanya soal apa isi pembicaraanku dengan Soni tadi.
"Rahasia," komentarku singkat. Mereka kontan protes dan menyerbuku dengan cubitan, jambakan dan tabokan keras.
Dan hal tersebut jadi makin bertambah saat pulang sekolah Soni menghampiriku dan mengajak pulang bareng. Aku melangkah ke lapangan parkir dengan melambaikan tangan, di iringi oleh teriakan-teriakan gak rela Wina dan yang lain. Soni yang melihatnya jelas merasa heran.
"Udah, gak usah di peduliin. Yuk.." ajakku santai meski dalam hati aku tak bisa menahan kegelianku dengan reaksi Wina dan yang lain. I win!! batinku.
Beberapa hari ini aku juga telah banyak berpikir. Tentang Soni dan juga diriku.
Aku tahu kalau sebelumnya, aku sudah memutuskan untuk menjauhinya. Tapi tenyata hal itu bukanlah perkara mudah. Sosoknya, suaranya, serta senyumnya yang jarang terlihat selalu membayang di benakku. Niat untuk tidak mengacuhkan dirinya yang ku susun dari rumah, seketika ambrol saat melihat sosoknya di sekolah. Menyedihkan. Aku tahu itu. Apalagi saat kemari Soni mengatakan bahwa kami.............berteman.
Betapa aku menginginkan hal yang lebih dari itu. Tapi itu tak mungkin kan? Tak peduli sebesar apapun perasaanku padanya. Sudah jelas Soni bukan orang yang memiliki kecenderungan sepertiku. Dan berteman, sepertinya menjadi salah satu alternatif yang bagus. Dengan begitu, aku masih bisa berada didekatnya, bersamanya. Harapanku, mungkin dengan berteman dengannya, secara perlahan-lahan, aku bisa menemukan akal sehatku kembali. Mungkin aku nanti akan menjadi terbiasa dengan kehadiran Soni, dan perasaaan apapun yang kurasakan padanya, pada akhirnya akan memudar dan hanya menjadi sebuah hubungan teman dalam artian yang sebenarnya. Yah, aku tahu. Bagiku mungkin itu hal yang sulit.