Lok Yang Piaukok terletak di pinggir kota Lok Yang dan menempati daerah yang cukup luas dikelilingi sebuah tembok yang cukup tebal. Rumah bergenting merah bederet deret puluhan banyaknya. Sebagai Bos perusahaan, Khu Pek Sim temasuk seorang pemimpin yang sangat memperhatikan kesejahteraan anak buahnya. Selain memberi pesangon yang cukup, dia juga memberikan sarana tempat tinggal bagi pegawainya.
Disebuah kamar dirumah yang paling besar, seorang anak berumur sekitar empat belas tahun sedang menggoreskan penanya diatas sehelai kertas. Tampaknya ia tidak berniat untuk berhenti, dilihat dari tumpukan kertas yang cukup tebal diatas mejanya, tentu sudah lama ia menulis.
Sinar matahari pagi menyoroti sebagian wajah bocah itu. Wajah yang tampan dihiasi alis yang tebal, dan hidung yang mancung, jelas mencerminkan kekerasan dan keteguhan hati. Matanya agak istimewa, bukan karena mencorong sinar tajam, seperti biasanya ahli silat...Mata itu agak istimewa karena mengikuti tarian pena lebih dari sepenanakan nasi.... tanpa berkedip.
Hanya seorang kutu buku yang bisa mempunyai otot mata yang demikian kuatnya. Hanya kebiasaan membaca berjam jam setiap harinya, yang dapat melatih otot mata yang kuat sekaligus melatih kebiasaan memusatkan perhatian.
Membaca adalah suatu kebiasaan yang baik. Suatu kebiasaan yang membuat kamar Khu Han Beng yang luas menjadi sempit penuh dengan rak berisi buku. Pintu kamarnya dibuka oleh Lo Tong yang tanpa basa basi langsung berkata: "Beng siau-ya, kau dipanggil oleh yaya-mu"
Lo Tong ditugaskan yaya-nya untuk melayani keperluannya. Sebetulnya, dia yang meminta dan memilih Lo Tong untuk melayaninya. Lucunya, walau sudah berusia enam puluh tahun lebih, dan lebih dari tujuh tahun bekerja sebagai kacung bukunya, Lo Tong buta huruf. Entah apa sebabnya, Han Beng tidak pernah mengajar cara membaca atau menulis kepada Lo Tong, kakek tua itupun juga nampaknya tidak tertarik untuk belajar membaca. Tugas sehari harinya, hanya menyiapkan tinta, membersihkan alat tulis, dan menyusun kertas kertas hasil tulis siau-ya kecilnya. Tugas yang sangat ringan, cocok dengan kondisinya yang memiliki tulang tua, yang mudah mengilu bila melakukan kerja berat.
Setahu Lo Tong, siau-ya, tuan kecil satu ini memang sedikit aneh. Umumnya anak kecil gemar bermain, Khu Han Beng lebih gemar mengurung dirinya didalam kamar, membaca buku buku tebal dan menulis puluhan lembar tiap harinya. Kecuali dirinya, bocah ini melarang orang lain memasuki kamarnya. Bahkan Khu Pek Sim pun, hampir tidak pernah datang ke kamar ini. Ia selalu menyuruh Lo Tong meminta Han Beng untuk menghadapnya.
Khu Han Beng meletakkan penanya, sambil berkata: "Kau masukkan kertas kertas ini kedalam tasku, siapkan kuda, kita pergi mengunjungi Gu-Suko" Han Beng menarik laci mejanya, mengambil beberapa tahil perak. "Kupergi menemui yaya. Tunggu aku di pintu gerbang".
Lo Tong menghela napasnya, dia tidak begitu menyukai mengunjungi tempat Gu-Suko, pemilik toko buku terbesar di kota Lok Yang. Baginya bau arak wangi, jauh lebih sedap dibanding bau buku tua yang memiliki ciri yang khas. Ciri yang membuatnya sesak napas. Khu Han Beng sangat akrab dengan Gu-Suko. Boleh dibilang hubungan mereka sudah seperti adik-kakak angkat. Hampir seminggu sekali Han Beng menyempatkan diri untuk mengunjungi Gu-Suko. Aneh juga, baru terpikir oleh Lo Tong, selama tujuh tahun ini, seingatnya belum pernah, Gu- Suko mengunjungi Lok Yang Piaukok, walau satu kali.
*****
Khu Pek Sim sedang duduk termenung diruang meja kerjanya. Tangannya memegang sebuah kotak terbuat dari batu kemala, yang mempunyai bentuk kubus. Setiap sisi kotak itu, terdapat 9 kotak bujursangkar kecil yang dihiasi enam macam warna. Setiap kotak dipenuhi oleh sebuah warna, ada yang merah, ada yang biru, kuning, hijau, ungu, dan putih...sayangnya tidak mengikuti citra seni, hingga berkesan tidak beraturan dan tidak karuan.
Kerutan di kening Khu Pek Sim makin bertambah, ketika tanpa sengaja tangannya dapat memutar setiap sisi kotak tersebut. Pegas di dalam kotak kemala tersebut, dibuat sedemikian rupa hingga setiap sisi kota itu dapat digerakkan secara tegak lurus atau mendatar. Sudah menjadi kebiasaan banyak orang, jika sedang asyik berpikir, tangan tidak jauh dari memegang jenggot. Walau usia sudah mendekati enam puluh tahun, Khu Pek Sim masih nampak gagah. Dia memelihara jenggot yang pendek yang terawat rapi, mungkin untuk menutupi codet luka pedang yang tergaris dari bibir sebelah kiri turun mencapai dagu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Goresan Disehelai Daun
Mystery / ThrillerSetelah terdiam sejenak, ia melanjutkan, "Ilmu yang sedang kulatih bernama Bu Kek Kang Sinkang, ilmu ke tujuhpuluh tiga yang diciptakan Tatmo Couwsu." Pek Bin Siansu terkesima, dari kecil ia tinggal di Shaolin. Dia yakin betul Tatmo Caouwsu, pendiri...