"Kenapa hanya segini yang kau setorkan hari ini!" hardik seorang pria disertai dengan terlemparnya beberapa lembar uang pecahan dua dan lima ribuan. Mata melotot dengan tangan berkacak pinggang, membuat lawan bicaranya ciut nyali sebab Jeff sedang menghakimi.
Siapa yang tak akan takut dengan sosok Jefri Nathanael, ketua preman yang biasa dipanggil oleh anak buahnya dengan sebutan Bang Jeff.
"M-maaf, Bang. Hari ini di pasar banyak yang nggak jualan," jawab pria berbadan kurus dengan suara terbata juga tubuh gemetaran. Pasalnya, Jeff ini terkenal garang dan kejam di kalangan para preman. Pantas saja jika dia diangkat sebagai kepala preman wilayah tersebut.
Brak!
Pria berbadan kurus itu terjengit kaget karena Jeff menggebrak meja dengan sangat kencang. "Dasar bodoh! Tak bisakah kau ini mencari cara lain bagaimana mendapatkan setoran jika memang di sana banyak pedagang yang tidak berjualan."
"Memangnya cara apa yang bisa saya lakukan, Bang! Pergi ke wilayah lain juga tak bisa!"
Sekali lagi Jeff menggebrak meja. "Sialan! Berani-beraninya kau melawanku!"
"Maaf, Bang. S-saya tidak melawan. Hanya saja ...,"
"Diam kau! Pergi dari hadapanku sekarang. Kepalaku hampir meledak mendengar semua alasanmu! Pokoknya aku tidak mau tahu, kau harus menyetorkan padaku sesuai target yang sudah kutentukan!" Dengan tangan dia kibas-kibaskan sebagai pertanda menginginkan sosok pria kurus itu agar keluar dari dalam ruangannya.
Dengan cepat pria itu gegas meninggalkan ruangan Jeff daripada ia dihakimi oleh sang bos.
Sepeninggalan pria terakhir yang menjadi anak buahnya itu keluar meninggalkannya, Jeff meraih kasar kotak rokok di atas meja yang sedang dia duduki. Ia ambil satu batang dan menyulutnya dengan korek. Menyesapnya dsn mengeluarkan asap melalui mulutnya. Seolah sedikit beban tengah Jeff keluarkan. Bagaimana dia tidak kesal jika makin hari pasokan setoran berkurang. Padahal Jeff sudah memiliki perencanaan matang dengan semua uang tersebut. Uang yang dia dapat dari para anak buah yang memang memiliki tugas masing-masing. Seperti halnya menarik uang jasa keamanan pasar, jalanan dan sebagainya. Semua uang itu tidak serta merta gratisan dia dapatkan. Tidak sama sekali. Anggap saja sebagai uang sewa jasa keamanan yang dia berikan selama ini bagi para pedagang yang memang membutuhkannya jasanya untuk mengamankan barang dagangan mereka.
Sudah habis satu batang rokok Jeff hisap, tapi suasana hatinya masih juga tak bisa membaik. Ia buang putung rokok pada tempatnya. Jeff turun dari atas meja dan meraih jaket kulit miliknya yang dia sampirkan begitu saja di punggung kursi. Membuka pintu ruangannya, dan begitu keluar pemandangan beberapa anggota gengnya mengalihkan tatapan padanya. Mereka dengan aktivitas masing-masing. Ada yang bermain catur, mengotak-atik mesin motor, tidur-tiduran sampai yang sibuk bermain game dari ponsel.
"Bang Jeff! Mau ke mana?" Rembo, nama salah satu tangan kanannya bertanya ketika mendapati Jeff berlau begitu saja tanpa mengabaikan mereka.
"Keluar. Cari angin," jawabnya asal dan tetap berjalan menuju motor miliknya yang terparkir di depan markas.
"Bang Jeff!" Rembo kembali berteriak memanggil.
Pria itu berbalik badan, "Apa? Buruan, aku tak ada waktu!"
"Bang Jeff tidak lupa, kan? Nanti malam kita ada taruhan dengan geng motor Rajawali?"
"Ya, aku ingat."
Rembo hanya menganggukkan kepala dsn membiarkan Jeff pergi dengan gaungan suara motor yang memekakkan telinga.
•••
"Bagaimana, dok? Apalah Adinda bisa segera dioperasi?"
"Kami masih menunggu donor ginjal yang tepat. Semoga secepatnya bisa segera kita tangani."
"Mengenai biaya, apakah perkiraan yang dokter berikan masih ada kekurangan?"
"Semoga saja tidak. Tapi, jika ada kurangnya pun tidak banyak. Kurang lebih rinciannya seperti yang pernah saya berikan kepada Pak Jeff."
"Terima kasih banyak dokter. Segera kabari saya jika ada informasi selanjutnya."
"Baik, Pak Jeff."
"Jika begitu saya permisi dulu. Terima kasih banyak atas bantuan dokter."
"Sama-sama."
Jeff beranjak berdiri, bersalaman dengan salah satu dokter spesialis yang menangani Adinda."
Pria berbadan tinggi tegab itu pun berjalan menyusuri koridor rumah sakit tak menghiraukan dengan tatapan mata orang-orang padanya. Tujuannya adalah kamar perawatan Adinda, bocah tujuh tahun yang mengalami gagal ginjal.
Pintu bercat putih itu Jeff ketuk dari luar, sebelum ia memutar handelnya. Kepala Jeff melongok mengintip seseorang yang ada di dalamnya.
"Bang Jeff," pekik kegirangan gadis kecil itu dengan senyuman lebar melihat siapa gerangan yang datang.
Jeff, pria berwajah sangat itu pun harus mengulas senyuman demi menyemangati Adinda agar secepatnya pulih dan sehat kembali.
"Dinda, apa kabarmu hari ini?" tanya Jeff seraya mengusap pucuk kepala gadis kecil itu.
"Lebih baik meski pun badanku sakit semua."
Jeff menyeret kursi dan duduk di samping ranjang. Sebelah tangan Adinda yang bebas dari selang infus, Jeff genggam. Menyalurkan energi positif pada gadis yang wajahnya tampak pucat.
"Dinda, dengar Bang Jeff. Secepatnya Dinda akan lekas sehat. Asalkan ... Dinda tidak lupa bersyukur dan juga harus semangat untuk sembuh. Banyak sekali teman-teman di rumah singgah yang menunggu kepulangan Dinda."
"Benarkah mereka tidak akan menjauhi anak penyakitan sepertiku?"
"Dinda tidak boleh berkata seperti itu. Ingat pesan Bang Jeff?"
"Iya, Dinda ingat. Dinda harus bersyukur karena masih diberikan kenikmatan sakit."
Jeff tersenyum. "Jadi ... apa yang membuat Dinda bersyukur hari ini?"
"Karena Dinda masih diijinkan oleh Tuhan untuk bernapas hari ini yang artinya Dinda masih diberikan kesempatan hidup di dunia yang indah ini. Juga masih diberikan kesempatan bertemu dengan Bang Jeff."
"Good girl." Sekali lagi tangan besar Jeff mengusap-usap kepala Dinda dengan penuh kasih sayang.
Hingga suara ketukan pintu daro luar, mengalihkan perhatian Jeff. Dua orang suster masuk ke dalamnya.
"Selamat sore, Dinda. Waktunya Dinda untuk diperiksa."
Jeff segera beranjak berdiri. Memberikan tempat pada suster untuk dapat berdiri di sisi ranjang. "Silahkan, suster."
"Terima kasih, Pak Jeff."
Ya, karena Dinda ini pasien langganan rumah sakit ini jadi para perawat pun kebanyakan sudah mengenal sosok Jeff. Pada awalnya mereka pun takut akan kehadiran sosok Jeff yang jika dilihat dari penampilan luar memang sangat menakutkan. Banyaknya tato di tangan juga sangarnya penampilan, membuat ciut nyali siapapun yang melihat. Namun, semakin dikenal ternyata Jeff adalah sosok yang baik dan penyayang.
"Dinda, Bang Jeff pamit dulu. Besok Bang Jeff ke sini lagi. Dinda ingin dibawakan apa?"
"Bolehkan Bang Jeff membelikanku boneka boba yang bisa menyala?"
Kepala Jeff mengangguk disertai dengan senyuman. "Tentu saja boleh. Besok Bang Jeff belikan. Ya, sudah. Bang Jeff pulang dulu."
Kepala gadis itu mengangguk setuju. Dengan senyuman cerah membayangkan esok hari akan menerima boneka yang diinginkan.
"Suster, saya titip Dinda."
"Baik, Pak Jeff."
####
Sudah saya posting juga di Karyakarsa sampai 20 bab free.
Akun Karyakarsa: henisupatminah / Miss_Heni
KAMU SEDANG MEMBACA
JEFF DAN ALICIA
RomanceHidup lontang lantung di jalanan, selama ini dijalani oleh Jefri Nathanael. Lelaki berusia dua puluh lima tahun itu sudah kebal dengan kerasnya hidup sebagai seorang preman. Memalak para pedagang pasar, pedagang kaki lima, juga anak jalanan. Bertahu...