Lima Belas

41 7 0
                                    

"Cia, besok jadwalmu untuk check-up rutin."

"Aku malas sekali, Pa."

"Jangan begitu, Cia. Apa kamu tidak ingin sembuh?"

"Bukankah papa juga tahu jika kemungkinan aku bisa berjalan lagi sangat kecil."

"Jangan putus asa. Asalkan kita mau berusaha, tidak ada yang namanya nggak mungkin. Percaya lah. Papa akan lakukan apapun yang terbaik untukmu."

Cia diam dengan pandangan mata berkaca-kaca. Tak lagi ada harapan baginya untuk bisa kembali berjalan seperti sedia kala. Karena kelumpuhan ini juga yang membuat gadis itu seringkali uring-uringan. Merasa keberadaannya sangat merepotkan banyak orang. Kenapa dia tidak sekalian saja Tuhan ambil ketika kecelakaan waktu lalu terjadi. Dan Cia selalu merasa, kesempatan hidupnya di dunia ini karena Tuhan ingin dia menebus semua kesalahannya. Kesalahan fatal yang telah merenggut kakak lelaki satu-satunya beserta kakak iparnya yang tak lain adalah kedua orang tua Megantara. Karena dia pula, Megantara harus menjadi yatim piatu di usia balita. Lantas, kenapa juga dia harus berusaha untuk sembuh jika hidupnya akan terus dihantui oleh rasa bersalah.

Melihat putrinya yang kembali diam merenung, Hadinata tak lagi mau banyak bicara karena bisa saja ucapannya tanpa sengaja akan menyakiti hati putri tercintanya.

Hadinata beranjak lalu berdiri di belakang tubuh Cia yang duduk di atas kursi roda. "Ayo, Papa antar ke kamar. Sudah sore kamu sebaiknya mandi, istirahat lalu makan malam."

Cia tak menolak ketika sang papa mendorong kursi rodanya dan membawanya masuk ke dalam kamar. Seorang perawat yang membantu Cia untuk segala kesulitan gadis itu, mengambil alih kursi roda dari tangan Hadinata.

"Terima kasih, Sus." Hadinata berucap.

Lalu menatap penuh sayang pada putrinya. "Papa ke kamar dulu. Ingin mandi. Gerah."

Cia mengangguk membiarkan Hadianta meninggalkannya. Sebenarnya, Cia sangat kasihan dengan sang papa. Papanya yang di usia tua seharusnya pensiun dari pekerjaan dan menikmati hari tuanya, nyatanya masih harus berjuang untuknya dan untuk Megantara. Papa yang semenjak kehilangan mama, sudah tak sebahagia dulu, sekarang kembali harus kehilangan Sagara, kakak lelakinya. Kakak yang seharusnya menggantikan semua tugas-tugas sang papa, justru pergi meninggalkan dunia ini bersama sang istri dan itu semua karenanya. Tanpa sadar Cia kembali sesenggukan. Membuat Suster langsung sigap menenangkan.

"Nona Cia. Menangis lah jika ingin menangis. Tapi jangan terus-terusan menyalahkan diri sendiri atas semua yang terjadi. Karena takdir manusia ada di tangan Tuhan yang kita sendiri sebagai manusia tak bisa menebaknya akan seperti apa."

Helaan napas suster terdengar berat karena wanita itu pun ikut bersedih hatinya. "Sebaiknya Nona Cia segera mandi agar lebih segar dan membaik suasana hatinya. Ayo saya temani."

Ya, Cia bersyukur karena memiliki orang-orang terdekat yang begitu peduli serta sayang padanya.

•••

Markas geng motor. Sepulang dari rumah sakit, Jeff duduk di kursi sembari menyulut rokok lalu ia selipkan di sela bibirnya. Terdiam sembari menunggu anak buahnya memberikan laporan pendapatan hari ini.

"Maaf, Bos. Setoran dari pedagang mulai berkurang. Mereka mengeluh sepi jualan," ucap Rembo yang dia jadikan tangan kanan selama ini.

Jeff tak menjawab. Jika dulu mendapat setoran makin menurun setiap harinya hanya akan membuatnya murka. Tapi sekarang, entahlah kenapa Jeff seolah tak lagi ada minat pada dunia jalanan.

"Kasih tahu aku bagaimana caranya kita bisa mendapat uang banyak untuk biaya kehidupan kita sehari-hari." Jeff bertanya dan Rembo mulai berpikir.

"Aku sendiri juga bingung, Bos. Andai Bos mau kita merampok atau membobol uang para koruptor, mungkin kita bisa kaya, Bos!"

"Sudah berapa kali aku katakan padamu. Kita ini hanya preman jalanan. Bukan Mafia. Kau paham!"

"Paham, bos!"

"Aku terima tantangan dari geng Rajawali. Dua jam dari sekarang kita berangkat menuju lokasi. Lima puluh juta lumayan juga jika kita bisa jadi pemenangnya."

"Yakin bos ingin kembali ke jalanan?"

"Aku punya banyak hutang untuk biaya operasi Adinda."

"Oh. Baiklah, Bos. Kita akan siap-siap."

Jeff hanya mengangguk.

•••

Menjelang tengah malam Jeff bersama anggota gengnya mendatangi tempat di mana mereka mengadakan janji bertemu. Suara raungan motor yang memekakkan telinga sudah menjadi lagi hal yang biasa.

"Datang juga kau akhirnya! Gue kira elu udah beneran jadi preman pensiun!"

Jeff menyeringai. Dia tak mau ambil peduli juga terpengaruh dengan omongan musuhnya.

"Yang penting ... gue sudah di sini. Mana uang taruhan yang kalian janjikan!"

Seorang anggota geng lawan, melemparkan satu buah ransel hitam pada bos geng Rajawali. Lalu pria itu membuka resleting dan menunjukkan pada Jeff.

Bibir Jeff menyeringai. Malam ini dia harus menang. Pikirnya.

"Kita mulai sekarang!"

Jeff kembali menutup helm yang membungkus kepala hingga tak memperlihatkan bagaimana bentuk wajahnya. Menunggangi motor besarnya yang meraung-raung minta segera dijalankan.

Beberapa wanita yang memang menjadi saksi pertarungan malam ini, sudah berlenggak-lenggok menghampiri satu per satu peserta. Kali ini Jeff sendiri yang akan melawan jagoan geng Rajawali.

"Bang Jeff pasti menang!" teriak salah satu anak buahnya.

Seorang perempuan seksi dengan membawa sapu tangan besar yang dikibas-kibaskan mulai berdiri di depan dua motor besar yang siap beradu di jalanan.

Namun, sayang sekali. Belum juga acara balap dimulai, suara sirine polisi meraung-raung membuat semua kelabakan.

"Polisi!"

"Polisi!"

Teriak mereka panik. Jika sudah dalam situasi genting seperti ini, maka semua berusaha menyelamatkan dirinya masing-masing. Sudah tak peduli kawan atau pun lawan yang penting mereka harus kabur dari tempat ini. Polisi tidak akan pernah main-main sebelum membasmi para geng motor yang meresahkan pengguna jalan dan juga warga sekitar.

Wanita seksi yang langsung meloncat di boncengan motor geng Rajawali, selanjutnya menarik gas meninggalkan lokasi. Anak buah Jeff mulai kocar kacir melarikan diri.

"Bang Jeff! Kabur!" Teriak Rembo sembari memacu kendaraannya.

Jeff sendiri juga tak ingin ditangkap polisi secara sia-sia. Mengikuti Rembo membelah sunyinya jalanan.

Jalanan yang biasa mereka pakai sebagai ajang balap liar terletak di dekat lokasi sebuah perumahan elit yang kebanyakan dihuni oleh para orang-orang banyak duit. Dan karena laporan beberapa warga perumahan tersebut yang merasa terganggu dengan suara raungan motor mereka lah sehingga memilih melapor ke polisi. Dan kegiatan mereka pun terendus pihak berwajib.

"Sial!" Jeff berteriak lantang. Rembo sudah lebih dulu meninggalkannya.

Bisa-bisanya di saat kondisi gawat darurat, motor milik Jeff justru ngadat. Tiba-tiba ban nya kempes karena bisa jadi tak sengaja melindas paku, mungkin. Sial! Pria itu mengumpat kesekian kalinya.

Suara sirine mobil polisi yang mengejar masih terdengar di telinga. Tak hilang akal. Tak jauh dari tempatnya sekarang, ada jajaran pohon besar serta semak-semak yang menjadi pembatas dengan tembok perumahan.

Jeff mendorong motor miliknya agar dapat dia sembunyikan di balik pohon tersebut. Sementara dia sendiri harus menyelematkan diri dengan cara memanjat tembok pembatas setinggi dua meter. Jangan ditanya bagaimana caranya, karena terbukti Jeff sudah berhasil menjatuhkan diri di balik tembok tersebut.

Kepala Jeff menoleh ke kiri dan ke kanan. Rupanya dia salah mendarat karena yang dia tapaki saat ini adalah sebuah taman yang ada di dalam area rumah mewah dua lantai.

JEFF DAN ALICIA Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang