Tiga Belas

38 9 0
                                    

"Uncle Jeff!" Teriakan lantang yang mengejutkan Jeff berasal dari suara seorang anak kecil.

Jeff yang sedang berada di sebuah pusat perbelanjaan, ingin mencari hadiah untuk Adinda berupa boneka yang gadis kecilnya minta, menolehkan kepala pada arah sumber suara.

"Uncle!" Kembali suara nyaring disertai lambaian tangan seorang bocah lelaki yang Jeff ingat pernah dia tolong. Namun, sedikit lupa siapa nama bocah itu.

Megantara berlari kecil menghampiri Jeff yang disusul oleh sosok wanita berseragam suster yang merupakan pengasuh anak tersebut.

"Uncle ada di sini juga?" Megantara mendongakkan kepala sembari bertanya.

"Hai ... kamu bukankah yang kapan hari bertemu itu, kan? Eum ... Megantara? Benar?"

Megantara bersorak kegirangan sebab Jeff masih mengenalnya. "Yeay, Uncle masih ingat aku."

"Tentu saja Uncle masih ingat. Apa kabar jagoan?"

"Kabarku baik. Uncle kenapa ada di sini?"

"Oh, itu Uncle ingin mencari kado."

"Kado? Untuk pacara Uncle, ya?" Megan menggoda.

"Eh, anak kecil sudah tahu pacar. Bukan, Megan. Uncle lagi cari kado untuk adik kecil Uncle."

"Oh, Uncle punya adik?"

Kepala Jeff mengangguk. "Iya. Seusia Megan."

"Oh, ya? Kapan-kapan bawa aku bertemu dengannya ya, Uncle?"

"Siap. Megan sendiri ngapain di sini? Mau jalan-jalan atau ...."

"Aku mau beli mainan sekaligus janjian makan siang dengan opa."

"Oh. Ya, sudah kalau begitu Megan lanjut saja beli mainannya. Uncle harus segera pergi."

"Oke, Uncle. Sampai bertemu lagi. Bye."

Jeff melambaikan tangan lalu meninggalkan Megan untuk gegas mencari konter yang menjual boneka. Sebelum ke rumah sakit menemui Adinda, Jeff harus membawa barang permintaan gadis kecilnya demi bisa melihat senyum manis Adinda yang baru selesai dioperasi.

Sementara itu, Megantara yang sedang memilih mainan harus terpaksa diingatkan oleh pengasuhnya jika mereka harus segera menemui sang opa.

"Megan, sudah belum? Nanti kasihan jika opa sudah menunggu."

"Sebentar lagi suster."

Ya, mereka berdua lebih tepatnya Megan lah yang janji untuk bertemu dengan opanya makan siang di tempat ini. Namun, seperti biasanya sebelum makan pasti Megan akan menyempatkan waktu mengunjungi konter mainan untuk menambah koleksi di rumahnya.

"Sudah, Sus. Aku mau ini." Megan mengacungkan mainan di tangan.

"Sebentar, ya. Sus bayar dulu."

"Oke."

Setelah selesai di bagian kasir mereka berdua keluar konter dan langsung menuju ke tempat makan di mana mereka sudah mengadakan janji temu.

Ya, Megan memang hanya datang berdua dengan suster usai mereka pulang sekolah tadi karena opanya sudah menunggu di sini.

"Opa!" teriak bocah enam tahun itu ketika mendapati sosok yang sedang menunggunya di dalam sebuah resto.

Hadinata melambaikan tangannya. Pria paruh baya itu tidak sedang sendiri melainkan ada Peter yang menemani. Mereka berdua baru saja meeting dan karena kebetulan bertepatan dengan jam makan siang, jadilah Hadinata meminta pada pengasuh juga sopir pribadi Megantara untuk mengantar cucu satu-satunya ke tempat ini. Jarang-jarang Hadinata menghabiskan waktu untuk bisa makan siang bersama Megantara sebab jika di hari-hari biasa mereka sama-sama disibukkan dengan aktivitas masing-masing. Jika Hadinata sibuk bekerja maka Megantara sibuk sekolah. Bocah lelaki itu baru duduk di taman kanak-kanak pada sebuah sekolah Internasional khusus pendidikan anak usia dini.

"Megan! Cucu opa. Ayo duduk!" pintanya begitu Megan mendekat. Hadinata mencium pipi sang cucu begitupun dengan Megan yang mencium punggung tangan opanya.

Pandangan mata bocah lelaki itu tertuju pada sosok lain yang duduk berseberangan dengannya. "Hai, Uncle Peter!" Sapanya dengan riang gembira.

"Halo, Megan. Apa kabarmu?" Peter mengulas senyuman. Merasa gemas dengan cucu sang atasan yang tak hanya ganteng tapi juga sangat pintar. Sayangnya, bocah sekecil itu harus tumbuh membesar tanpa didampingi kedua orang tuannya. Mendadak Peter merasa sedih. Membayangkan saja tak mampu andaikan semua itu terjadi pada anak-anaknya.

"Megan baik, Uncle."

Lalu Hadinata bertanya, "Bagaimana sekolahmu? Ada kendala atau tidak?"

Kepala Megan menggeleng mantap. "Tidak ada. Semua berjalan lancar tanpa hambatan. Jika Opa tidak percaya ... tanya saja pada suster."

Perempuan yang disapa suster juga ikut duduk di sebelah Megan. Hadinata mengalihkan pandangan pada pengasuh cucunya. Bukan tak percaya dengan ucapan Megan. Namun, dari cerita Suster padanya, Megan ini sempat membangkang dan tak mau sekolah. Bahkan insiden Megan yang berlari kencang dan hampir tertabrak pengendara motor pun Hadinata ketahui dari cerita pengasuh Megan. Sungguh, Hadinata tak tahu lagi bagaimana caranya menjaga Megan karena dia pun sibuk sendiri. Hanya bisa mempercayakan cucu satu-satunya pada pengasuh dan sopir pribadi yang dia pekerjakan untuk Megantara.

Andai saja Sagara masih ada ... Ah, Hadinata mendadak sedih jika mengingat putranya yang tak lain adalah ayah kandung Megantara.

Semua kejadian demi kejadian dalam hidup Hadinata terjadi begitu saja dan dengan cepat semua sudah sampai di tahap ini. Hadianta gelengkan kepalanya. Tak mau bersedih hati di depan cucunya.

"Opa percaya. Megan anak yang baik. Rajinlah belajar agar kelak bisa menjadi orang sukses."

Seperti Daddy-mu. Tentu saja kata terakhir itu hanya mampu Hadinata lontarkan di dalam hatinya saja. Tidak ingin membahas Sagara di depan Megan. Cucunya itu mulai menata hidupnya lebih terarah setelah kehilangan kedua orangtuanya. Jadi, Hadinata tak mau kembali membuat Megan sedih, murung, juga menderita.

"Opa aku sudah lapar. Kapan kita akan mulai acara makan siangnya?"

Hadinata tertawa mendengar sang cucu satu-satunya yang bicaranya suka ceplas ceplos. Pun halnya dengan Peter yang mengulum senyumnya.

"Megan ingin makan apa? Opa panggil pelayan dulu."

Hadinata mengangkat tangannya sebagai kode memanggil salah seorang pelayan. Mereka memesan makanan dan dengan diselingi obrolan baik Hadinata, Peter, juga Megan terlibat banyak obrolan. Mulai dari pelajaran di sekolah Megan, lalu tentang guru-guru sampai pada teman-teman Megan. Hadinata bersyukur karena Megan mulai mendapat teman-teman baru juga lingkungan yang nyaman. Berharap semoga cucunya betah dan mau bersekolah dengan rajin. Entah ini sudah sekolah ke berapa yang Megan masuki karena bocah kecil itu sering sekali rewel dan tak mau pergi ke sekolah.

"Opa!"

"Ya?"

"Eum ... Megan punya teman baru, loh!" Dengan riang gembira Megan mulai dengan celotehannya. Bahkan dengan mulut yang berisi makanan.

"Oh, ya? Lelaki atau perempuan?" Hadinata jadi ikut semangat jika mendengar cerita dari cucunya.

"Laki-laki, Opa. Dia pahlawan Megan."

Hadinata sedikit kesusahan mencerna dengan apa yang Megan ceritakan. "Pahlawan? Maksudnya?"

"Iya, Opa. Pahlawan yang sudah menyelamatkan Megan pas hampir ketabrak motor waktu itu. Dan tadi tidak sengaja Megan bertemu lagi di sini."

"Terus kenapa Megan tidak membawa pahlawan Megan bertemu Opa? Pasti Opa sangat senang bisa berkenalan dengan orang baik yang sudah menolong cucu opa satu-satunya."

"Uncle Jeff nya sedang sibuk karena harus pulang membawakan boneka untuk adiknya."

Hadinata mencerna panggilan yang baru saja Megan ucapkan. "Uncle Jeff?" tanya lelaki paruh baya itu pada cucunya.

"Iya, Opa. Nama pahlawan Megan adalah Uncle Jeff."

Hadinata terdiam. Apakah Uncle Jeff yang Megan maksud adalah Jefri?

JEFF DAN ALICIA Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang