Sembilan

39 6 0
                                    

Tak terasa satu minggu sudah Jeff bekerja. Sedikit kerepotan sebenarnya ketika seorang Jeff harus bangun di pagi buta agar jam tujuh pagi dia sudah stand by di kantor tempatnya bekerja. Sebagai seorang petugas kebersihan, mereka harus datang lebih awal dan segera membersihkan seluruh ruangan sebelum para karyawan datang.

Dan karena hal itu pula selama satu minggu ini Jeff meninggalkan dunia malamnya. Tak lagi mabuk-mabukan apalagi ikut balap liar. Semua sengaja Jeff lakukan karena tidak ingin mengecewakan kesempatan yang sudah Hadinata berikan. Terlebih status sebagai karyawan baru harus dia jaga demi nama baiknya. Yah, meski Jeff sadar diri jika dia bukanlah orang baik yang peduli akan penilaian orang lain terhadapnya.

"Bang Jeff!" Teriak Rembo ketika Jeff teegesa keluar dari markas.

"Hem," jawab Jeff hanya berupa deheman lalu memasang helm di kepala.

"Weekend bisa kan kumpul di tempat biasa. Kali ini geng Rajawali mengajak kita tanding lagi."

Jeff menghentikan aktifitasnya lalu tampak berpikir. "Kita lihat saja nanti. Aku nggak bisa janji."

Rembo mendengus. Ingin protes tapi tak berani. Dalam benak pemuda jangkung itu berpikir, sebenarnya pekerjaan apa yang sedang Jeff jalani sekarang. Kenapa jadi rajin sekali? Apakah Jeff berniat untuk insyaf menjadi seorang preman?

Berbagai macam kata tanya yang tak berani pemuda itu utarakan dan hanya menatap punggung Jeff yang meninggalkannya disertai dengan raungan suara motor yang memekakkan telinga.

Rembo terjengit kala pundaknya di tepuk seseorang yang tak lain adalah temannya. "Kenapa lu?"

"Bang Jeff banyak berubah," ucap Rembo berbalik badan lalu kembali masuk ke dalam markas.

Sementara itu, Jeff yang memacu kendaraan membelah padatnya jalanan agar segera sampai di kantor. Meski hanya sebagai office boy, namun dia bangga dengan pekerjaan barunya. Beberapa hari ini pun suasana hati Jeff sedikit tenang tidak seperti biasanya yang seringkali tersulut amarah hanya karena sedikit kesalahan yang anak buahnya lakukan.

Mungkin di tempat kerjanya yang baru ini, semua orang memperlakukan dia dengan baik dan tak memandang latar belakang dia siapa. Masih ada juga yang menatapnya dengan ketakutan dan tak berani mendekatinya. Jeff maklumi karena dia tak bisa mengubah penampilannya yang memang sudah melekat dalam dirinya selama ini.

Motor berhenti di depan pos security menunggu portal dibuka.

"Makasih, Pak," ucap Jeff lantang pada petugas keamanan yang sedang berjaga pagi ini.

Keduanya saling melemparkan senyumnya. Melihat punggung Jeff yang melesat masuk ke dalam kawasan perkantoran, menyunggingkan senyuman di bibir security tersebut. Dia pikir dulunya Jeff adalah preman yang ingin memalak atau membuat onar. Siapa sangka sosok preman tersebut adalah seorang pekerja keras yang tidak pernah mengeluh akan beratnya perkejaan.

"Preman insyaf," ucapnya pelan.

•••

Menjelang pukul delapan pagi, Jeff tengah sibuk mengepel area lobi. Jangan sampai para karyawan datang di pukul setengah sembilan maka lantai masih licin. Bisa-bisa dia kena teguran. Dengan ketelitian setiap sudut kantor tak lepas dari campur tangan Jeff yang begitu gesit membersihkan.

Usai dengan tugas menyapu dan mengepel lantai lobi, Jeff membawa alat pembersih kaca dan membawanya keluar gedung. Ya, dia akan membersihkan bagian luarnya agar tampak kinclong bebas dari debu yang bertebaran.

Tanpa Jeff ketahui, jika sosok Hadinata yang baru saja sampai di kantornya, sempat tertegun memperhatikan kinerja Jeff dalam jarak jauh. Hadinata lega, setidaknya feeling nya tentang Jeff memang terbukti. Pemuda itu adalah sosok yang rajin dan pekerja keras. Lihat saja bagaimana pria berambut gondrong itu yang sesekali mengusap peluh karena kepanasan juga kecapekan. Tak menyangka jika perkejaan kasar seperti inilah yang Jeff inginkan ketimbang menerima tawarannya sebagai seorang CEO.

Hadinata menggelengkan kepala lalu gegas masuk ke dalam dan langsung menuju ruang kerjanya. Dia menekan tombol interkom yang langsung tersambung dengan asisten pribadinya merangkap sebagai sekretaris.

"Peter ke ruanganku sekarang," pintanya sebelum memutus sambungan telepon tersebut.

Seorang lelaki berpenampilan rapi dengan kemeja licin juga celana bahan yang mencetak jelas tubuh tingginya, tengah berdiri di depan ruangan Hadinata. Mengetuk pintu sang atasan sebelum membukanya.

"Masuk Peter," pinta Hadinata.

Peter masuk lalu duduk di hadapan sang atasan. Hadinata mencondongkan badan ke depan. "Bagaimana? Kamu sudah mendapatkan informasi yang aku inginkan?"

Peter mengangguk lalu menyerahkan sebuah file pada Hadinata. Lelaki yang sebagian besar rambutnya telah beruban itu membaca dengan seksama apa yang ada dalam tangannya. Kepalanya manggut-manggut mengerti.

"Peter, terima kasih karena kamu bergerak cepat mendapat semua informasi ini."

"Sama-sama, Pak. Maaf jika saya lancang. Untuk apa bapak mencari banyak informasi seputar Jefri?"

"Tidak apa. Aku hanya sedang mencari pengganti Sagara sebagai seorang CEO di perusahaan ini."

Kening Peter mengernyit. Tak mengerti dengan jalan pikiran sang atasan. "CEO? Jangan katakan jika bapak berencana menjadikan Jefri sebagai seorang CEO?"

" Apa salahnya, Peter. Jeff orang yang baik meski penampilan luarnya sangat berantakan, sangar, dan juga menakutkan. Tapi aku yakin sebenarnya dia memiliki kemampuan."

"Dari mana Bapak bisa menilai demikin. Bahkan dari Informasi yang telah saya dapatkan, tak ada yang menarik sama sekali dengan kehidupan Jefri."

"Bagi orang lain, tak akan bisa mengetahui seberapa besar kemampuannya. Tapi dalam hati kecilku ini selalu meyakini jika Jeff lah orang yang tepat dan yang aku cari selama ini."

"Maaf sekali lagi jika saya sangat lancang. Bukankah di perusahaan ini banyak sekali karyawan dari yang junior sampai senior yang memiliki kemampuan mumpuni. Kenapa bapak tidak memberikan kesempatan saja pada mereka untuk lebih mengembangkan diri."

"Awalnya aku mau seperti itu. Tapi satu pun dari kandidat yang aku pilih, tak ada yang cocok dan sreg di hati. Sagara memang tak tergantikan karena dia adalah putra satu-satunya yang dapat aku andalkan. Namun, takdir rupanya berkata lain karena Tuhan lebih menyayangi Saga hingga harus kembali mengambilnya dariku."

Hadinata tampak berkaca-kaca. Kesedihan selalu ia rasakan ketika mengingat sosok putra yang satu tahun lalu telah meninggalkannya.

Segera Hadinata mengusap air mata yang sudah menggantung di pelupuk matanya. Tak ingin Peter melihat jkka dia ingin menangis.

"Maafkan saya, Pak Hadi. Telah membuat Anda sedih."

"Bukan salahmu, Peter. Ya, sudah. Kembali lah ke ruanganmu."

"Baik, Pak. Jika ada sesuatu yang Anda inginkan, telepon saya segera."

Hadinata menganggukkan kepala lalu membiarkan Peter keluar dari dalam ruang kerjanya. Berkas di tangan kembali ia baca.

Jefri Natanael. Nama itu sangat indah. Tidak mungkin Jika orang biasa yang tak memiliki latar belakang bisa menyandang nama sebagus itu. Tapi kenapa dari informasi yang dia dapat justru hanya menuliskan jika Jeff sejak lima belas tahun usianya sudah berada di jalanan lalu menjadi kepala preman. Asal usul keluarganya pun tak terendus. Makin penasaran Hadinata dibuatnya.

JEFF DAN ALICIA Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang