Tujuh Belas

34 8 0
                                    

Meski masih merasa cemas, akan tetapi Hadianta mencoba tenang dan berpositif thinking bahwa tidak ada apa-apa di rumahnya. Setelah berhasil meyakinkan Cia jika semua akan baik-baik saja, lelaki itu kembali ke kamar lalu merebahkan dirinya di atas ranjang. Rasa capek yang mendera tak ayal mengantarkan Hadinata terbuai ke alam mimpi dengan begitu mudahnya.

Berbeda dengan Alicia yang kembali susah tidur setelah insiden barusan. Mencoba tetap tenang nyatanya ketika subuh menjelang dia baru bisa tertidur.

Hingga pagi datang, Suster tak berani membangunkan. Membiarkan Cia masih lelap dan dia turun ke lantai satu seorang diri. Seharusnya, seseorang yang sedang mengalami kelumpuhan seperti Cia ada baiknya jika bertahan di lantai satu saja. Namun, semenjak kecelakaan itu, Cia tidak mau pindah kamar sehingga Hadianta pun mengalah dengan memberikan akses lift dari kamar Cia untuk dapat menjangkau lantai satu rumah di mana segala macam aktifitas harian seluruh penghuni rumah berpusat di sana.

"Sus, Cia mana?" Hadinata yang sudah berada di ruang makan bertanya ketika melihat suster putrinya hanya seorang diri.

"Non Cia masih tidur, Tuan. Saya tidak berani membangunkan."

"Biarkan saja dia beristirahat. Sepertinya Cia kembali depresi sampai berhalusinasi semalam. Ya, sudahlah. Biarkan dia bangun dengan sendirinya. Lagipula jadwal terapinya nanti di sore hari. Jangan lupa ingatkan Cia karena nanti sore akan aku kirimkan driver baru untuk mengantar kalian."

Ya, driver lama yang Hadianta pekerjakan resign karena sakit-sakitan. Sehingga untuk beberapa waktu lampau, dengan terpaksa Cia harus nebeng driver pribadi Megantara. Untung saja Hadinata segera mendapat penggantinya sehingga tidak perlu repot-repot lagi. Mengharap pada Jeff agar dapat menjaga Cia. Tak Hadinata pungkiri, putrinya yang cantik kerap menjadi bahan olokan ketika berada di tempat umum. Jika ada Jeff setidaknya tak lagi ada orang yang berani membully Alicia. Kasihan sekali karena masa depan Cia harus kandas di tengah jalan. Keinginan untuk menggapai cita-cita juga terhambat karena kakinya lumpuh.

"Baik, Tuan. Saya akan sampaikan pada Nona Cia nanti."

"Terima kasih."

Baru juga Suster pergi meninggalkannya, suara melengking yang memanggil namanya menolehkan kepala Hadinata.

"Selamat pagi, Opa!"

"Pagi cucu opa. Ayo duduk kita sarapan."

Megantara menurut. Bocah kecil itu duduk di kursinya lalu dengan dibantu sang pengasuh, Megantara mulai melahap sarapannya. Sesekali Hadinata melirik pada cucunya yang sekarang sudah mulai mandiri dan jarang sekali menanyakan perihal kedua orangtuanya.

"Opa! Aku sudah selesai. Aku sekolah dulu ya, Opa!"

"Hati-hati di jalan sayang. Belajar yang rajin."

"Siap, Opa.

"Cucu opa memang hebat."

"Iya dong, Opa. Aku memang hebat seperti papa!"

Hadinata tak kuasa untuk tidak memeluk dengan erat tubuh cucunya.

"Suster. Jaga Megan baik-baik."

"Siap, Tuan. Kami permisi."

Megantara melambaikan tangannya lalu pergi meninggalkan ruang makan. Kini, tinggallah Hadinata seorang diri. Pria itu merasa sangat kesepian sekali. Dulu ketika istrinya masih hidup, ruang makan ini selalu saja ramai. Istrinya yang sangat pandai memasak selalu membuatnya juga kedua anaknya bersemangat sekali setiap jam makan tiba. Aneka macam makanan yang dihidangkan pasti akan dia lahap sampai habis tak bersisa. Pun juga dengan Sagara dan Alicia. Kedua anak yang begitu ia cintai. Namun, semua itu hilang sudah tinggal kenangan yang mengingatnya saja tak sanggup Hadinata lakukan.

JEFF DAN ALICIA Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang