Dua Puluh Lima

41 7 0
                                    

Pagi ini untuk pertama kali Jeff berdandan rapi. Memakai kemeja terbaik yang dia punya. Kemeja satu-satu yang baru satu kali pakai ketika ada acara penggalangan dana di yayasan panti dan rumah singgah beberapa waktu silam. Celana jeans sobek yang biasa dia pakai, pagi ini tak lagi menempel di kakinya. Pria itu memakai celana bahan yang biasa digunakan ketika memakai baju koko. Rasanya memang aneh sekali ketika Jeff mematut dirinya di depan cermin yang menempel pada lemari bajunya. Namun, dia memang harus mulai membiasakan diri untuk berpenampilan lebih rapi jika kelak benar-benar menerima jabatan CEO di perusahaan. Teringat pesan Hadinata jika mulai hari ini dia tidak lagi diperbolehkan mengenakan seragam office boy. Jadi, meski dia ada rasa malu ketika akan keluar kamar, akan tetapi hari yang sudah beranjak siang memaksa Jeff untuk tetap menampakkan diri dihadapan para anak buahnya. Sudah dapat Jeff prediksi jika dia pasti akan mendapatkan candaan serta guyonan. Namun, biar saja. Lama-lama mereka juga nanti akan terbiasa.

Benar saja. Rembo yang pertama kali melihat penampakan Jeff pagi ini, ternganga dengan mulut terbuka. Memindai tubuh Jeff dari atas ke bawah. Tak hanya Rembo saja ternyata. Namun, beberapa orang yang memang sedang ada di markas ikutan melongo. Bukan karena Jeff tak pernah berpenampilan rapi begini. Hanya saja pagi ini Jeff terlihat tampan layaknya karyawan kantoran. Rambut gondrong yang biasanya hanya diikat asal, kali ini sudah hilang. Berganti dengan rambut pendek yang disisir rapi. Lalu, celana belel juga tak ada lagi. Justru kemeja yang dimasukkan ke dalam celana dilengkapi sebuah ikat pinggang, menyempurnakan penampilan Jeff pagi ini. Andai saja pria itu tidak keluar dari dalam kamar Jeff, mungkin tak akan ada yang percaya jika pria itu adalah kepala preman yang menjadi bosnya.

"Bos ... rapi dan tampan sekali, pagi-pagi mau ke mana?" Dengan berani salah satu anak buahnya bertanya.

Bukannya marah, Jeff yang malu-malu mengulas senyuman. "Kerja. Doakan saja pekerjaan halalku kali ini lancar tanpa ada hambatan."

"Memangnya Bos kerja di mana dan jadi apa?" Kali ini Rembo yang ikutan bertanya.

"CEO perusahaan tekstil dan eksport import," jawab Jeff, bukan asal jawab tapi memang dia selama ini bekerja di perusahaan tersebut. Perusahaan milik Hadinata. Hanya sebagai office boy. Dan sekarang jabatan CEO sudah di depan mata.

"CEO?" Rembo dan rekan-rekannya saling pandang.

"Sudah. Aku harus berangkat. Doakan aku sukses. Pun halnya juga dengan kalian. Aku harap ada perubahan baik yang bisa kalian lakukan. Bisa mulai mencari pekerjaan yang juga lebih baik meski posisi harus dimulai dari bawah. Tak ada perjuangan yang sia-sia jika kita sudah ada niat untuk berusaha. Aku pergi dulu!"

Jeff berlalu pergi disertai dengan anggukan kepala anak buahnya.

"Bos kerasukan jin apa?"

"Jin tomang kali ya?"

"Atau jangan-jangan jin perempuan?"

Rembo menggeplak lengan temannya. "Hush! Jangan ngawur. Jika bos dengar, berabe. Sudah bubar-bubar. Ingat kata bos, kan? Kita diminta cari kerjaan yang bener. Siapa tahu saja beruntung macem bos dapat tawaran CEO!"

Mereka manggut-manggut meski tak paham apa yang harus mereka lakukan sekarang.

•••

Tak hanya para anak buahnya di markas yang menatap dengan menyebalkan. Ingin sekali Jeff mencolok mata mereka satu per satu yang memandangnya remeh seolah preman sepertinya tidak pantas berpenampilan rapi dan tampan.

"Mbak Neni! Boleh minta kopi nggak?" ucapnya ketika masuk ke dalam pantry melihat seorang office girl yang menjadi temannya sedang menyeduh kopi. Jeff mendudukkan pantat di atas kursi dengan raut wajah kekesalan.

Mbak Neni yang terkejut mendapati kehadiran Jeff yang tiba-tiba, memutar badan dan tersenyum lebar. Bukannya membuat kopi seperti yang Jeff minta, wanita yang sudah memiliki dua anak itu justru mendekati Jeff dengan tatapan memuja.

"Ini beneran kamu, Jeff?" Lalu memutar-mutar kepala Jeff yang hanya Mbak Neni seorang berani melakukannya. "Ganteng sekali kamu pagi ini?"

"Memangnya selama ini aku nggak ganteng, Mbak? Sampai semua orang menatapku aneh begitu."

Mbak Neni memukul pelan pundak Jeff. "Bukan nggak ganteng, Jeff. Setiap hari kamu itu ganteng sebenarnya. Hanya saja belum tereksplor. Seringnya berpenampilan kumal. Padahal jika didandani sedikit saja seperti ini ... wua semua pada pangling melihatmu."

Lama-lama risih juga dipandangi seperti itu oleh Mbak Neni. Jeff berdecak, "Mbak! Mana kopinya?"

"Ah, iya. Lupa. Saking terpesona sama kamu, Jeff. Saya sampai lupa jika sedang buat kopi tadi. Tunggu sebentar."

Mbak Neni meninggalkannya untuk menyeduh kopi. Sementara Jeff, meraup wajahnya antara ragu untuk maju juga mundur dan berhenti sampai di sini saja. Apa yang akan dia lakukan kelak jika memang harus memegang amanat penting Hadinata. Apakah dia mampu? Atau dia tetap pada posisi office boy saja yang tak banyak beban pekerjaan?

"Jeff, ini kopinya?" Mbak Neni menyodorkan secangkir kopi hitam panas yang masih mengepulkan asap panasnya. Sebelum menemui Peter ada baiknya dia menghangatkan pikiran dengan menikmati secangkir kopi.

Mbak Neni yang seharusnya bekerja justru menarik kursi dan duduk di hadapan Jeff.

"Kamu nggak kerja?" Mbak Neni bertanya.

Jeff yang menyesap kopinya hanya menjawab singkat. "Kerja, Mbak."

"Sudah jam berapa ini? Kenapa kamu belum bersiap-siap?"

"Sebentar lagi. Pak Hadi memerintahku untuk menemui Peter."

"Pak Peter? Bukankah beliau asisten pribadi Pak Hadinata?"

"Iya."

"Lalu untuk apa kamu diminta menemuinya?"

"Diminta oleh Pak Hadi belajar dari Peter."

Mbak Neni makin antuasias saja mendengar cerita dari pemuda di hadapannya ini. Pantas saja pagi ini Jeff terlihat sangat rapi. Rupanya ada hal yang akan dilakukannya.

"Apakah kamu ditawari pindah divisi?"

"Sepertinya begitu."

"Jeff! Kamu memang hebat."

"Hebat apanya?"

"Ya, itu. Kamu bisa mendapat tawaran yang lebih baik lagi dari seorang office boy. Pergunakan kesempatan itu dengan sebaik-baiknya. Karena tidak semua orang akan mendapat kesempatan yang sama sepertimu."

Jeff mencerna semua perkataan Mbak Neni. Rekan kerjanya ini begitu menyemangatinya. Ya, mungkin benar. Dia tak boleh menyianyiakan kesempatan yang ada. Tidak akan kesempatan datang kedua kali, kan?

"Semangat Jeff. Ya, sudah Mbak tinggal dulu. Kamu habiskan kopimu dan lekas temui Pak Peter. Jangan sampai telat. Tunjukkan pada Pak Hadi jadi kamu memang layak mendapat promosi."

Jeff mengulas senyuman. "Terima kasih, Mbak Neni. Karena Mbak Neni aku jadi semangat."

Mbak Neni tersenyum lebar. Beranjak berdiri meninggalkan Jeff untuk kembali melanjutkan pekerjaannya.

Jeff, pria itu segera menghabiskan kopinya yang tinggal separo. Karena setelah ini dia harus segera menemui Peter.

JEFF DAN ALICIA Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang