"Awas!" Pekik Jeff ketika siang ini dia tanpa sengaja melihat anak kecil yang hampir tertabrak motor. Beruntung Jeff memiliki kaki panjang yang dapat melangkah cepat, hingga mampu menggapai tubuh mungil bocah lelaki yang mungkin berusia sekitar enam tahunan.
Bocah yang berhasil dia tarik langsung Jeff dekap ketika laju sepeda motor yang mendadak menarik remnya, berhenti dengan terseok.
Ya, pagi ini Jeff sedang nongkrong di sebuah warung tak jauh dari sekolah elit. Pria itu sedang kalut karena membutuhkan banyak uang sebagai biaya operasi Adinda. Jeff yang tengah merokok sembari mencari cara, juga jalan keluar demi bisa mendapat uang dalam waktu singkat, sedikit melamun sebenarnya. Namun, seolah ada yang memintanya untuk menolehkan kepala pada sosok bocah lelaki yang entah sedang berlarian mau ke mana. Bahkan anak lelaki itu tidak melihat kanan kiri di mana muncul dengan tiba-tiba sebuah sepedah motor yang juga sama-sama tidak mengetahui dengan keberadaan anak itu yang ingin menyeberang jalan.
"Mas, adiknya tidak apa-apa? Lain kali hati-hati jika mau nyeberang," omelan pengendara motor lalu meninggalkan Jeff dan anak yang masih tampak shock dalam dekapannya.
"Hei, kamu tidak apa-apa?" Jeff bertanya.
Kepala bocah itu menggeleng. Namun, yang membuat Jeff heran, bersama siapa anak ini? Kenapa sendirian di jalanan seperti ini? Masih menggunakan pakaian seragam sekolahnya juga.
Dan semua tanya yang ada dalam benak Jeff terjawab sudah, ketika telinganya mampu menangkap suara panggilan seorang perempuan.
"Den Megan!"
Kepala Jeff menoleh, sosok perempuan berbaju layaknya khas seorang pengasuh anak-anak berlari ke arahnya.
Tunggu! Apakah itu adalah pengasuh bocah kecil yang masih setia mendekapnya dengan tangan mencengkeram kemeja yang Jeff kenakan.
Dengan napas tersengal-sengal, perempuan itu berdiri tak jauh dari Jeff.
"Den Megan. Ayo, keburu telat masuk sekolah nanti," rayunya yang ditujukan pada anak kecil itu.
Megan. Jadi itu nama anak tersebut. Batin Jeff.
"Aku nggak mau sekolah! Suster saja yang sekolah sendiri!" Teriak lantang yang membuat Jeff terkejut dan kebingungan.
Otak Jeff langsung mampu mencerna semua yang sedang terjadi sekarang. Sosok anak kecil yang disebut dengan nama Megan, rupanya tidak mau sekolah dan ingin kabur dengan berlarian di jalanan. Bahkan hampir saja tertabrak motor tadi.
Jika seorang anak kecil tidak mau bersekolah, biasanya ada sesuatu uang terjadi. Bisa saja Jeff tak ambil peduli karena mereka tak saling mengenal. Masalahnya, bocah kecil ini tak mau melepas dirinya sehingga Jeff terpaksa berjongkok demi bisa mensejajarkan tingginya dengan Megan.
"Hai, jagoan. Siapa namamu?"
Tak lantas langsung menjawab, bocah itu justru menelisik wajah juga penampilan Jeff yang memang aneh dan tidak normal seperti orang kebanyakan. Jeff pikir, begitu Megan menyadari penampakannya, bocah kecil itu akan ketakutan dan menjauh darinya. Nyatanya dugaan Jeff salah besar.
Senyum lebar tersungging di bibir anak itu. Dengan mata berbinar dia berucap, "Wow, Uncle punya banyak tatto."
Jeff sempat membuka mulutnya. Baru pertama kali dia melihat ekspresi tersebut dari seorang anak kecil yang mengagumi tattonya.
"Uncle, nama aku Megantara. Aku suka lihat tubuh Uncle banyak tattonya. Uncle keren."
Jeff mengulas senyuman. Padahal penampilannya ini menyeramkan. Tapi kenapa Megan tidak takut padanya.
"Jadi, namamu Megantara?"
"Iya. Panggil saja aku Megan, Uncle!"
"Baiklah Megan. Jadi ... Megan suka tatonya Uncle?"
"Iya. Megan ingin di tatto juga. Tapi ... pasti Opa tidak mengijinkannya."
"Jelas Opa tidak akan mengijinkan karena Megan masih kecil."
"Memangnya jika Megan sudah besar ... boleh buat tatto seperti punya Uncle ini?" tunjuk Megan pada salah satu gambar burung rajawali di salah satu lengan Jeff.
"Boleh ... tapi, Megan harus rajin sekolah agar cepat besar."
"Megan tidak mau sekolah. Sekolah membosankan."
"Siapa bilang sekolah membosankan? Justru dengan sekolah Megan bisa jadi pintar nanti."
Bibir bocah kecil itu mengerucut. "Tapi uncle janji. Jika nanti Megan rajin sekolah, lalu cepat besar, Uncle boleh ajari aku bikin tatto, ya?"
Kepala Jeff mengangguk. "Siap!"
"Ya, sudah. Megan sekolah dulu. Bye Uncle!"
Pengasuh tersebut tersenyum penuh kelegaan sebab majikan kecilnya bisa dijinakkan juga setelah sempat berulah. Sebelum mereka pergi, Jeff mengingatkan. "Suster jaga Megan baik-baik. Hampir saja tadi tertabrak motor."
"Iya, Mas. Terima kasih sudah menolong Megan tadi. Juga menolong saya merayu Megan agar mau sekolah."
"Sama-sama."
Tak disangka sama sekali jika masih ada preman yang baik hati dan suka membantu. Begitu batin pengasuh Megan berkata pada diri sendiri.
Belum jauh jarak mereka, Megan kembali membalikkan badannya. "Uncle namanya siapa?" Setengah berteriak Megan bertanya.
"Panggil saja Uncle Jeff."
••••
Dua hari selanjutnya, Jeff berada di rumah sakit mengurus semua keperluan operasi Adinda yang akan dilaksanakan esok hari. Pemuda itu berniat meninggalkan rumah sakit untuk pulang ke markas besarnya. Namun, tiba-tiba ia teringat akan kartu nama yang satu minggu lalu dia dapatkan dari seseorang yang sudah dia tolong. Hadinata.
Gegas Jeff membuka dompetnya dan mencari keberadaan kartu nama tersebut. Lega. Ternyata masih ada. Jeff membaca dengan seksama na.lma perusahaan milik keluarga Hadinata. Sepertinya tak ada salahnya jika Jeff pergi ke sana meminta bantuan pada Hadinata agar memberinya pekerjaan. Jeff tak masalah bekerja serabutan juga jadi pekerjaan kasar. Mungkin jadi tukang sapu, tukang bersih-bersih atau satpam. Tak masalah. Karena untuk saat ini Jeff memang sedang membutuhkan pemasukan yang lumayan banyak. Mengandalkan para anak buahnya juga masih kurang.
Dengan penuh semangat dan harapan tinggi, pria itu menuju tempat parkir mencari keberadaan motor besar miliknya. Dengan kecepatan penuh, Jeff membawa motor tersebut membelah padatnya lalu lintas kota. Mencari alamat yang sepertinya dia sudah tahu di mana lokasinya. Jangan sebut dia preman jika tidak menguasai jalanan.
Sampai dua puluh menit berlalu, sampai juga Jeff di depan gedung perkantoran yang menjulang tinggi di hadapannya. Jeff menghentikan laju kendaraannya seraya menatap penuh keraguan pada apa yang akan dia lakukan.
Apakah dengan penampilan yang seperti ini Jeff akan diijinkan masuk ke dalam?
Jeff menunduk melihat baju apa yang dia kenakan siang ini. Celana jeans belel yang sudah pudar warnanya bahkan di bagian lutut terdapat sobekan. Lalu sepatu boots yang selalu ia kenakan menambah kadar kesangarannya. Kaos hitam bergambar tengkorak membungkus tubuh atasnya dan dilengkapi dengan jaket denim.
Benar-benar sosok preman yang jika dia masuk ke dalam gedung nanti pasti dikira ingin membuat onar. Padahal tidak semua preman itu bersikap bar-bar. Jeff menghela napas panjang sebelum dia memantapkan niat untuk masuk ke dalam.
KAMU SEDANG MEMBACA
JEFF DAN ALICIA
RomanceHidup lontang lantung di jalanan, selama ini dijalani oleh Jefri Nathanael. Lelaki berusia dua puluh lima tahun itu sudah kebal dengan kerasnya hidup sebagai seorang preman. Memalak para pedagang pasar, pedagang kaki lima, juga anak jalanan. Bertahu...