Rumah Sakit
Tampang boleh sangar. Penampilan, wajah juga ekspresinya yang datar. Namun, lihatlah apa yang ada di tangan pria itu. Sebuah boneka beruang berukuran besar, mampu menarik minat para pengunjung rumah sakit. Namun, Jeff tak ambil peduli karena lelaki itu tak menghiraukan siapa pun juga sedang berpapasan dengannya. Tujuan Jeff hanya satu. Mengunjungi Adinda yang baru saja selesai dioperasi.
Pintu kamar rawat inap Jeff buka, Adinda yang tergolek dengan keadaan masih lemas, ditemani oleh Bunda. Menolehkan kepala dengan disertai senyuman. "Bang Jeff," ucap gadis kecil itu lirih.
"Hai, Dinda. Ini Abang bawakan boneka pesananmmu," ucap Jeff seraya mendekati ranjang. Mengulurkan tangan dan mencium punggung tangan Bunda.
"Baru datang, Jeff?"
"Iya, Bun. Ini tadi habis mencarikan Dinda boneka."
Jeff meletakkan boneka besar di samping Adinda yang sedang berbaring.
"Bang Jeff beneran membelikannya untukku," ucap Adinda berbinar.
"Iya, dong. Apa pernah Abang berbohong padamu?"
Kepala Adinda menggeleng lemah. "Tidak. Terima kasih Bang Jeff. Dinda suka sekali bonekanya."
"Dinda lekas sembuh, ya! Agar bisa lekas pulang dan bermain boneka."
"Iya, Bang Jeff."
Jeff mengusap pucuk kepala Adinda dengan penuh sayang.
"Jeff, kamu nggak kerja lagi?" Bunda bertanya.
"Belum, Bunda. Rencananya besok saya baru akan mulai masuk kerja."
"Sudah tiga hari kamu tidak bekerja. Apakah tidak masalah, Jeff?"
"Saya sudah meminta ijin tidak masuk selama tiga hari. Jadi saya rasa tidak masalah asalkan tidak lebih dari itu."
"Bunda hanya khawatir saja. Kamu ini karyawan baru. Takutnya dipecat nanti karena kelamaan tidak bekerja. Padahal Bunda sudah sangat bersyukur sekali kamu mendapat pekerjaan baru, Jeff."
Ya, siapa yang tidak senang jika mendapati seorang preman jalanan ingin insyaf dan menata hidup secara normal. Apalagi Jeff sudah memiliki tekad yang sangat kuat. Sebagai orang tua Bunda hanya bisa memberikan dukungan dan juga semangat tentunya.
"Bunda jangan khawatir. Bagiku ... Adinda dan Bunda adalah segala-galanya. Jika sampai saya dipecat, nanti akan mencari pekerjaan yang baru. Ya, sudah. Sebaiknya Bunda istirahat. Biar saya saja yang menggantikan menjaga Adinda. Saya akan pesankan taksi untuk mengantarkan Bunda pulang."
"Terima kasih, Jeff. Kamu memang lelaki yang baik. Semoga kebahagiaan selalu menyertaimu."
Jeff mengulum senyuman. Mengaminkan semua doa-doa yang Bunda ucapkan. Bahagia itu sebenarnya ingin sekali Jeff rasakan ketika kelak dia memiliki keluarga yang utuh. Selama ini keluarganya hanyalah para anak panti, anak Jalanan dan beberapa anak buahnya. Tidak pernah lagi merasakan kehangatan kasih sayang kedua orang tuanya semenjak beberapa tahun yang lalu.
Jeff mengantarkan Bunda sampai depan kamar rawat inap Adinda. Setelahnya, pria itu kembali masuk dan berdiri di sisi ranjang. "Istirahat lah. Abang akan di sini menjagamu."
"Terima kasih, Bang Jeff."
Jeff beranjak dan menjatuhkan dirinya di atas sofa yang ada di dalam ruangan ini. Merogoh saku celananya dan membaca pesan yang Rembo kirimkan.
Lima puluh juta. Itu nilai yang sangat banyak. Jeff berpikir apakah dia akan menerima tantangan dari geng Rajawali yang menginginkan dia kembali terjun di jalanan malam nanti.
Gegas Jeff memberikan balasan pesan pada anak buahnya itu. "Okay. Aku terima tawaran itu."
•••
Di sebuah pusat perbelanjaan.
"Jangan lupa kamu datangi rumah sakit dan cek perkembangan kesehatan adiknya Jeff," ucap Hadinata memberikan perintah pada Peter.
"Siap, Pak."
Hadinata meninggalkan Peter karena beliau ingin pulang bersama cucunya. Megan sudah menunggu di dalam mobil bersama Suster. Bicah itu tampak berseri-seri.
"Opa tidak kembali ke kantor?"
Kepala Hadinata menggeleng. "Opa ingin pulang saja."
"Yeay! Jadi opa bisa menemaniku main nanti?"
"Tentu saja. Ayo, Pak. Kita jalan." Hadinata memerintahkan sopir agar membawanya pulang le rumah. Jarang-jarang dia bisa menghabiskan waktunya bersama anak serta cucunya. Melihat kebahagiaan di wajah Megan, tentu saja Hadinata sangat terharu sekali. Cucunya ini seolah bersemangat sekali mengetahui dia tidak ke kantor lagi sore ini.
Mengusap lembut kepala Megantara. Hadinata sudah berkaca-kaca. 'Maafkan Papa, Saga. Belum bisa membahagiakan putramu karena Papa terlalu sibuk.'
Inginnya di usia senja, Hadinata pensiun saja dari dunia bisnis dan pekerjaan. Namun, sayangnya tak bisa sebab semua tanggung jawab besar ada padanya. Ada karyawan yang menanggung beban keluarga telah bergantung padanya. Ada anak dan cucu yang memiliki masa depan masih panjang dan Hadinata harus berjuang sendirian untuk semua itu. Jika dikatakan lelah, tentu saja dia lelah.
Dulu, ada Sagara yang dia gadang-gadangkan menjadi penerus sekaligus pemilik tahta kerajaan bisnisnya. Sayangnya, Tuhan lebih sayang pada putranya itu sehingga Saga harus meninggalkannya lebih dulu.
Tak ingin larut akan kesedihan yang nantinya juga akan membuat Megan ikut bersedih hatinya. Hadinata mencoba berdamai kembali dengan keadaan. Ada Megan yang kelak akan menjadi penerusnya meski itu membutuhkan waktu yang sangat lama.
Sampai di rumah Megan langsung berlarian masuk ke dalam. Suster yang mengekori pun memberikan titah. "Megan, ganti baju cuci tangan lalu tidur siang."
"Tapi aku ingin bermain dengan opa, sus!"
Hadinata menyela, "Nanti sore usai mandi Megan bisa bermain dengan opa. Okay!"
"Baiklah. Ayo, sus."
Dengan penuh semangat Megan menggandeng lengan suster menuju kamarnya.
Sementara itu, Hadinata yang setiap pulang ke rumah, tak lantas langsung istirahat dan masuk ke dalam kamar. Melainkan mencari keberadaan sosok putri kesayangannya. Alicia namanya. Namun, semua memilih memberikan nama panggilan untuk gadis berusia dua puluh empat tahun itu dengan sebutan Cia.
Hadinata berpapasan dengan asisten rumah tangga yang ia pekerjakan. Lalu beliau pun bertanya, "Nona Cia di mana?"
"Ada di taman belakang, Tuan."
Hadinata meneruskan langkah menuju taman karena ingin menemui sang putri tercinta. Senyum tipis dari bibirnya ketika mendapati Cia sedang menyendiri sembari merangkai bunga. Kebiasaan baru yang menjandai hobi Cia saat ini untuk menghalau rasa bosan terus menerus di rumah.
"Sedang apa?" tanyanya begitu beliau mendekat dan berdiri di samping putrinya.
Cia mendongak, terkejut akan keberadaan papanya. "Pa! Jam berapa ini? Kenapa papa sudah pulang?"
"Papa sengaja pulang cepat karena tadi ada Megan juga."
"Megan?"
"Iya. Tadi papa ketemuan dengan Megan, lalu kami makan siang bersama. Cia sudah makan?"
Kepala gadis itu mengangguk. "Sudah. Tapi nggak ada nafsu makan."
"Meski pun sedang tidak ada nafsu makan, kamu harus tetap mengisi perut. Agar kondisimu lekas pulih. Papa sudah sangat merindukan putri papa yang ceria seperti dulu lagi."
Semenjak kecelakaan yang merenggut nyawa putranya, lalu putrinya pun ikut menjadi korban hingga membuatnya lumpuh, hidup Hadinata hancur lebur. Kehilangan putranya adalah pukulan terbesar dalam masa hidupnya. Bahkan lebih berat ketika dulu beliau mengikhlaskan kepergian sang istri untuk selama-lamanya.
KAMU SEDANG MEMBACA
JEFF DAN ALICIA
RomanceHidup lontang lantung di jalanan, selama ini dijalani oleh Jefri Nathanael. Lelaki berusia dua puluh lima tahun itu sudah kebal dengan kerasnya hidup sebagai seorang preman. Memalak para pedagang pasar, pedagang kaki lima, juga anak jalanan. Bertahu...