Assalamu'alaikum mantemaan!!!
.
.
.Di tengah gemuruhnya ombak, di bawah indahnya langit senja serta di tengah ramainya sorak sorai orang-orang yang menikmati hamparan dan bentangan laut, ada Hilma yang tengah di peluk sepi.
Gadis itu menghela nafas berat. Tak peduli dengan ramai nya pengunjung lain yang sedang menikmati indahnya senja, Hilma tetap merasa sendiri. Helaian rambutnya beterbangan di terpa angin, matanya sesekali memejam menikmati belain angin itu sendiri. Meski begitu, lelah dan takut tetap membelenggu.
Dia lelah. Dia khawatir. Hilma merasa hidup yang saat ini ia jalani begitu melenceng. Dia tak ingin ada alur hidup seperti ini dalam lembaran kisahnya. Tapi mau bagaimana lagi, Hilma belum menemukan jalannya. Ia tak tau harus bagaimana.
Tangannya terangkat menarik setiap helaian rambut, menariknya perlahan hingga lama kelamaan menjadi sebuah jambakan. Dia mengerang frustasi. Suara orang-orang di belahan pantai sana seakan lenyap.
Hilma bingung. Dia belum menemukan jalan atau cara agar keluar dari belenggu hidup yang menurutnya tidak selaras ini. Pada siapa dia harus bersandar, sedangkan orang tuanya kini sibuk menjelema menjadi orang-orang gila kerja dan harta. Mengabaikan anak sematawayang nya yang saat ini butuh pendengar dan saran.
Dua tahun, dua tahun Hilma menjalani kehidupan yang menurut nya kotor. Ingin bercerita, tapi pada siapa? Jika pun bercerita, Hilma takut mereka akan menjauh dan tak ingin berteman dengan dirinya.
"Tuhan, aku harus bagaimana?! " erangnya setengah frustasi. Ah, tidak. Dia memang frustasi. Frustasi dihadapkan dengan situasi tersesat dalam labirin kehidupannya sendiri.
Tak sadar, disana, tepatnya di sebuah kedai penjual minuman kelapa. Seseorang memperhatikan bagaimana bergetarnya tubuh ringkih seorang Hilma Aurora. Bagaimana cara tangan-tangan lentik itu menarik paksa setiap helaian rambut indahnya. Sungguh di sayangkan. Mahkota indah itu kini harus menjadi sebuah pelarian. Padahal biasanya, Hilma begitu anti dengan tangan-tangan yang ingin menyentuh rambutnya seujung kuku pun. Ketika merapihkan nya pun, tangan itu biasanya bergerak begitu lembut. Tapi kali ini, tidak sama sekali. Tangan itu bergerak penuh emosi.
Gavriel berdecak, menebak kiranya apa yang membuat gadis berponi itu terlihat frustasi. Ingin menghampiri, tapi takut tak diterima. Maksudnya, jika pun Hilma ingin teman cerita, pasti dia sudah bercerita sejak awal padanya maupun pada kedua bekicot yang menjelema menjadi temannya. Jika Hilma tak bercerita, berarti perempuan itu tak ingin. Iya kan?
Jadi disini lah Gavriel, mengamati kemana pun setiap langkah gadis itu. Tak bermaksud menguntit, tapi Gavriel hanya... peduli? Atau khawatir? Entahlah, yang penting Gavriel merasa dia harus melakukan ini.
"Itu temen mas nya? " tanya si Ibu pemilik kedai. Tubuh paru baya itu mendekat pada Gavriel, menyajikan minuman kelapa muda ketiga yang Gavriel pesan. Iya, Gavriel sudah memesan tiga kali minuman kelapa muda itu. Sambil memperhatikan dan menunggu Hilma tentunya.
Gavriel menoleh sekilas lalu kembali memperhatikan Hilma. Seakan takut sosok itu akan hilang ketika ia lengah. "Oh, iya bu. "
"Neng itu tuh, udah sering kesini. " si Ibu mulai sesi bercerita, dan ikut memperhatikan Hilma. "Kalo setiap hari libur dia kesini dari pagi sampe malem. Setiap pulang sekolah dia juga kesini, masih pake seragamnya juga. Nah, hari ini juga dia udah disini dari pagi. " jelasnya. Yang tentu saja di simak oleh Gavriel.
KAMU SEDANG MEMBACA
M A H A R A J A [HIATUS]
FanfictionGak ada deskripsi kayak perasaan aku ke dia huhu~ Kata Bumi, jangan terlalu jatuh nanti gak bisa bangun. Jangan terlalu berharap nanti sakit hati. Udah itu aja^^ Cover by; MumunDm Story oleh; Saya sendiri