2.3 JORDAN ADIAWINSA

256 64 0
                                    

Pagi-pagi Jordan sudah bangun, mempersiapkan diri untuk menghadapi hari. Setengah jam mandi dan kini manusia ganteng itu sudah duduk rapih menyantap sarapannya. Setiap hari selalu begitu, lebih tepatnya harus seperti itu. Kalau ada yang terlewat satu step, pasti mood dia untuk kerja jadi hilang.

Si ganteng satu ini mempunyai sifat perfeksionis. Bahkan, Selina sering kali mengomentari hal tersebut. Mengingatkan kalau manusia itu gak ada yang sempurna, jadi wajar kalau ada hari-hari dimana semua gak sesuai dengan rangkaian rencana yang dia buat. Sebaik itu pengaruh Selina di dalam kehidupan Jordan. Mungkin, kalau Jordan tidak bertemu Selina dalam hidupnya, dapat dipastikan Jordan akan jadi manusia paling menyebalkan sepanjang masa.

"Sayang, aku udah di bawah," ujar Jordan lewat telepon. Mobil putihnya sudah terparkir rapih di depan rumah Selina.

"Iya, hati-hati turun tangganya," lanjutnya kemudian mematikan sambungan telp.

Tidak lama, Selina sudah masuk ke dalam mobil dengan dress warna biru pastel di bawah lutut. Rambutnya hanya di gerai begitu saja lalu ditambah bando ikat motif bunga aster menambah kesan elegan dan feminim.

"Hari ini gak ada operasi?" tanya Jordan memulai percakapan, sembari menyetir mobil menuju RS swasta terbesar di Jakarta.

"Kalau di jadwal aku gak ada, tapi gak tau juga. Biasanya suka ada operasi dadakan," jawab Selina setelah berkaca untuk memastikan penampilannya rapih.

"Cantik banget," puji Jordan menoleh sebentar ke arah tunangannya.

"Iya dong, calon istri kamu harus cantik," timpal Selina mampu membuat Jordan tersenyum senang.

"Sayang, kamu mau majuin tanggal pernikahan engga?" tawar Jordan, dia menyetir dengan satu tangan karena tangan kirinya menggenggam tangan kanan Selin.

"Lebih baik engga, soalnya kalau di majuin aku harus ubah lagi tatanan jadwal operasi dan berobat jalan."

Hal yang sangat Jordan sukai dari Selina adalah bagaimana gadis tersebut bisa langsung merespon, memberikan jawaban yang tegas tanpa ragu, karena dia paham betul mana yang harus diprioritaskan. Selain dewasa, gadis ini juga mempunyai rasa tanggungjawab tinggi pada semua tugasnya.

Jordan mengangguk paham. Tangannya naik ke atas kepala, mengusap pucuk rambutnya pelan. Selina juga mendekatkan diri, memberikan akses agar Jordan lebih leluasa.

"Kita sama-sama sibuk, tapi bukan berarti harus mengorbankan hal lain demi kepentingan sendiri. Bahagianya kita bukan untuk menyengsarakan orang lain," tutur Selina membuat hati Jordan menghangat.

"Pinter banget deh, jadi makin sayang," ujar Jordan mencium pipi Selina pelan.

Bertemu dengan Selina adalah keajaiban paling Jordan syukuri. Oleh karena itu, dia sangat ingin memperistri wanitanya dalam jangka waktu dekat. Targetnya tahun depan mereka sudah ada di pelaminan, tepat ketika tabungannya mencapai angka yang diinginkan. Begitu juga dengan Selina, dia sudah mengosongkan jadwal agar tidak ada tanggungjawab yang dia tinggalkan.

Definisi saling berjuang dan diperjuangkan, itulah kunci hubungan mereka masih erat sampai sekarang. Harusnya teman-teman yang lain mengikuti jejak Jordan dalam hubungan asmara, agar bisa awet tanpa hambatan. Namun, Adipati tetap jadi pengecualian, karena hambatannya sudah tidak bisa dikendalikan oleh manusia.

Jordan menginjakkan kaki di kantor tepat pukul 07.45 pagi. Lima belas menit lagi sebelum masuk ruang kerja, Jordan memilih membelokkan diri ke kantin untuk membeli secangkir Latte panas. Kebetulan dia melihat sosok Patih dan Ratu.

"Tumben banget akur," ujar Jordan tersenyum jahil.

"Akur apanya, ini kita baru berantem taruhannya yang kalah bayarin kopi," saut Patih menoleh ke kiri.

"Jadi, siapa yang kalah?" tanya Jordan pada Ratu.

"Saya, pak," jawabnya pelan, raut wajahnya tidak bagus, bibirnya maju beberapa senti ke depan.

"Pantes Tama suka, imut begini," puji Jordan membuat Ratu tersipu malu.

"Idih, gak tau aja lo. Ni manusia kalau di rumah sebelas dua belas sama kuda renggong," cibir Patih menunjuk Ratu dengan dagunya, detik itu juga Ratu memukul bahu Patih.

"Ahahaha, lucu banget kalian," kekeh Jordan menyaksikan interaksi adik kakak secara langsung. Dia anak sulung, jadi tidak punya saudara untuk diajak berantem kaya begini.

"Pak Jordan mau pesan apa? biar sekalian saya traktir," tawar Ratu masih tersenyum ramah.

"Wah, makasih banyak. Tapi ga usah gapapa, lain kali deh traktirnya kalau udah resmi sama Tama," jawab Jordan menolak secara halus.

"Ck, gak usah malu-malu kucing lo. Pasti mau pesen Latte, kan? Yang panas atau yang dingin?" tanya Patih to the point.

"Yaudah yang panas," final Jordan, menghindari perdebatan di pagi hari karena dia tahu seberapa ngeyelnya Patih jika tidak mengikuti kemauannya.

"Terima kasih, Ratu." Jordan menerima satu cup Latte darinya.

"Terima kasih kembali. Saya pamit ya pak," ujar Ratu lalu berjalan meninggalkan mereka berdua.

Patih dan Jordan berjalan menuju lift dengan tujuan yang sama. Saat pintunya tertutup, barulah Patih mengajaknya membicarakan tentang hubungan adiknya.

"Gue itu sayang banget sama Ratu. Kalau boleh jujur, gue kurang setuju soal hubungan dia sama Tama," ungkap Patih setelah menyedot ice americano.

"Kenapa? Tama baik Tih, lo juga udah kenal anaknya kaya gimana," tutur Jordan menatap Patih yang sedang berpikir.

"Justru karena gue tau Tama baik, gue takut kalau nanti salah satu diantara mereka ada yang kecewa. Baik itu kesalahan adik gue atau kesalahan Tama, gue gak mau hubungan mereka hancur karena dua-duanya penting di hidup gue."

Saat ini Jordan sadar, kalau pilihan orangtua Patih untuk menjadikan manusia kurang sesendok ini jadi owner perushaan adalah hal yang tepat. Sekritis itu dia terhadap sesuatu, sampai memikirkan kemungkinan-kemungkinan apa saja yang akan terjadi.

"Menurut gue biarin aja Tih. Mereka yang menjalin hubungan, mereka yang lebih tau medan perangnya seperti apa. Jadi, biar mereka juga yang memutuskan sendiri alur cerita hubungannya bakal kaya gimana," jelas Jordan mencoba memberi gambaran.

"Kita cukup perhatikan dari jauh dan kasih uluran tangan kalau emang diperlukan," tambahnya sebelum mereka berdua berpisah saat keluar dari lift.

Jam istirahat Jordan memutuskan untuk tetap berada dalam ruangan, tubuhnya tiba-tiba tidak karuan. Suhunya juga sedikit naik, dia juga berpesan pada bawahannya agar membangunkannya sebelum jam masuk.

"Dan, bangun dulu."

Tubuhnya yang terguncang membuat kesadaran berangsur-angsur kembali. Jordan membuka matanya perlahan, menoleh ke kanan dimana Mahen dan Wahyu sudah duduk menyiapkan makan siang mereka bertiga.

"Tadi anak buah lo bilang, lo lagi enak badan," ujar Mahen sembari membuka tutup botol air mineral yang diberikannya ke Jordan.

"Saya tadi niatnya mau beliin nasi goreng, cuma gak jadi. Katanya kalo lagi pusing lebih baik makan bakso biar seger lagi," tutur Wahyu menyodorkan semangkok bakso hangat lengkap dengan bawang goreng kesukaan Jordan.

"Makasih banyak." Senyum Jordan merekah menyadari satu hal lagi, kalau semua temannya punya sifat empati yang tinggi.

Satu hal lagi yang disyukuri dalam hidupnya, Jordan memiliki dua belas teman yang sudah seperti keluarga sendiri. Saling membantu dan memperhatikan satu sama lain, tanpa mengharap imbalan. Walau dirinya sendiri di negara orang, tapi Jordan tidak pernah merasa kesepian karena ada mereka.

Rumah Jordan jauh, di LA. Namun hubungan keluarganya kurang harmonis, finalnya Jordan memilih untuk hidup sendiri. Berangkat ke negeri orang, tidak ada seorang pun yang dia kenal hanya berbekal nekat. Jordan mencoba mengadu nasibnya sebagus apa dengan melamar pekerjaan di CaratLand, kebetulan dia lulusan S1 ilmu komunikasi.

Setelah direkrut dan menjalani training tiga bulan, Jordan langsung masuk ke dalam tim inti dari perusahaan atas usulan Sangga dan Patih. Sampai sekarang masih di sini karena menurutnya, dia telah menemukan keluarga meski dalam versi lain.

SEJAWAT || SVTTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang