3.1 REGARDA SANGGA LANGIT

124 36 0
                                    

Efek kesalahan kemarin tentang nescafe yang diganti dengan varian lain karena stok di minimarket tersebut kosong, hubungan Sangga dan Winanda semakin dekat. Entah harus bersyukur atau sedih, beberapa hari ini Winanda harus lembur menemani Sangga yang sedang merancang program discount, paketan, dan asuransi terbaru dari CaratLand.

Hari pertama dan kedua, Winanda merasa sangat beruntung karena waktu bertemu dengan Sangga lebih lama dari biasanya. Namun, ini sudah hari keempat dimana dia terus-menerus melembur tanpa jeda istirahat dalam kurun waktu seminggu ke depan. Hal itu tentu mengakibatkan jadwal tidur dan kesehatan gadis tersebut sedikit terganggu, meski begitu dia tetap berusaha se-profesional mungkin sekiranya sampai programnya selesai dirancang.

"Nda," panggil Sangga lewat sambungan telepon.

"Iya pak? ada yang bisa saya bantu?" responnya cepat mengangkat telepon kantor yang berada disamping kanan.

Ruangan mereka berdua tentu dekat, bersebelahan dan sebenarnya jika bicara dengan suara tinggi bisa terdengar. Namun, karena ini kantor dan bukan pasar malam maka harus tetap menggunakan tata cara sebagaimana mestinya.

"Ada yang bisa saya bantu, pak?" Nanda mengulang pertanyaan karena tidak ada jawaban dari ruangan sebelah.

Satu hingga dua menit menunggu, akhirnya Nanda memutuskan untuk menemuinya langsung. Dia tergesa-gesa masuk ke ruangan Sangga sampai lupa mengetuk, hingga kakinya sempat tenkantuk ujung meja yang membuatnya meringis.

Banyak orang bilang, firasat wanita itu lebih kuat daripada laki-laki terlepas ada hubungan darah atau tidaknya dengan orang tersebut, dan Winanda menyetujui pendapat itu. Dia melihat bagaimana kondisi Sangga yang tidak sadarkan diri dengan beberapa helai tisu banyak darah.

"Siapapun, tolong panggilkan ambulan, sekarang!" teriaknya panik pada sambungan telepon dengan nomor asal pencet.

"Pak! Pak Sangga! anda dengar saya?!" Nanda sengaja meneriakkan namanya agar kesadaran Sangga tetap terjaga setidaknya sampai bantuan datang.

Dia menarik bahu Sangga yang tergeletak di meja agar bersandar punggung kursi. Hidung lelaki itu terus mengeluarkan darah sampai baju kemeja putihnya juga berubah warna dibagian dada. Sepertinya Sangga sempat berusaha dengan menyumpal beberapa tisu, tapi sayang darahnya tidak kunjung berhenti.

Nanda ingin menangis, dia tidak pernah tahu bagaimana caranya untuk memberikan pertolongan pertama pada orang mimisan hebat seperti ini. Sempat terpikir diotaknya untuk menonton tutorial via YouTube, tapi buru-buru sadar jika hal itu lebih konyol daripada membeli pakan ayam untuk memberi makan ikan koi yang dia pelihara di akuarium, seperti yang dilakukannya kemarin malam.

"Kenapa?" tanya Okta yang baru datang dengan napas terengah-engah.

"Bang, abang!" panggil Dimas mengambil alih peran Nanda yang juga datang bersama dengan Okta. Rupanya panggilan tadi tersambung pada ruangan Dimas.

"Saya gak tau pak, tadi pak Sangga panggil saya lewat sambungan telepon. Waktu saya masuk pak Sangga udah kiamat eh sekarat kaya gini," jelas Nanda masih panik sampai salah jawab.

"Heh, temen gue gak sekarat ya!" sewot Okta, maklum dia itu penganut sekte 'ucapan adalah doa'.

"Maaf pak, maaf. Bukan itu maksud saya, euh ... anu ... gak sadarkan diri pak, iya itu. Pak Sangga udah pingsan pas saya masuk," ucap Nanda terbata-bata, dia sudah tidak bisa berpikir karena situasinya begitu Chaos.

"Malah debat, cepet panggil ambulans," hardik Dimas, kedua tangannya sibuk mengelap darah Sangga dengan tisu.

"Udah kok, tunggu dua menit lagi. Paling lagi turun dari atas petugasnya," jawab Okta jujur.

SEJAWAT || SVTTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang