2.7 PATIH SULUNG SUJADITAMA

210 57 0
                                    

"Pak, tau engga?" tanya Byanca menoleh pada pemuda penerus kekayaan Sujaditama.

"Engga, kan kamu belum ngasih tau," jawabnya cepat.

Mereka berdua menggeser posisinya, mengikuti antrian kantin yang terus berjalan. Kebetulan sekali, mereka mengambil jam istirahat kedua. Yang mana pukul 14.00 baru menuju kantin untuk makan.

"Ada yang bapak peluk tapi bukan saya," ucap gadis darah barat dengan bahasa Indonesia yang fasih.

"Apa? guling?" Patih berbalik tanya sembari menyelaraskan langkah kakinya menuju meja kosong di ujung sana.

Byanca menarik kursi. "Agama bapak," jawabnya setelah duduk dengan rapih membuat pria didepannya diam seketika.

"Saya tau bapak suka saya, tapi Tuhan bapak tidak berlaku sama," jelas Byanca mengambil sendok bersiap menyuapkan nasi sebelum waktu istirahatnya habis.

Karena Patih masih diam dengan pikirannya, Byanca melanjutkan, "dan saya bukan tipe wanita yang bisa diajak pacaran. Karena menurut saya, di umur sekarang sudah bukan waktunya untuk main-main, apalagi yang berurusan dengan hati."

"Ehm." Patih membasahi kerongkongannya menggunakan sebotol air mineral sampai sisa setengah.

"Saya gak tau harus jawab apa," ujarnya menatap mata Byanca teduh, "tapi yang jelas, seberapa keras saya mencoba untuk menolak, hati saya tetap menyuarakan nama Byanca Zanetta."

"Saya juga bingung, gimana caranya supaya perasaan ini bisa berhenti dan berubah jadi tau diri," lanjut Patih memberikan waktu kepada gadis itu untuk mendengar seksama bagaimana isi hatinya.

"Tapi pada kenyataannya berbanding terbalik."

Byanca menelan makanannya susah payah. Kemudian berkata, "kalau kepergian saya bisa membantu, akan saya ajukan surat resign besok pagi."

Raut wajahnya menegas seketika. "Saya tidak mau kamu mengorbankan karir hanya karena alasan sepele," ujarnya menggeleng tidak setuju.

"Gini saja By, kamu tetap kerja seperti biasa. Urusan perasaan saya, biar saya yang atur," finalnya, Patih masih tersenyum manis melanjutkna makan siangnya.

Dua jam kemudian, Patih sudah berada dalam ruang rapat. Di mana acara puncak prank hari brojolnya Juanda Oktavian berlangsung. Pria itu sebisa mungkin menyampingkan rasa sakit hati yang terjadi di kantin. Dia sangat tahu, dimana dan kapan menempatkan eksrepsi meski dunianya sedang bersedih.

"Okta!" bentakan Sangga membuat semua diam tidak berkutik.

"Saya sudah bilang berkali-kali, kalau jam kerja ya kerja. Bukan malah curhat di atas!"

"Kamu kalo gak niat kerja mending pulang aja!" lanjut Sangga menunjuk wajah Okta di depan rekan-rekan lain.

"Apa perlu saya kasih kamu surat peringatan sebagai Owner?" celetukan Patih semakin membuat keadaan suram.

Okta menunduk, bukan karena tidak bisa menjawab. Namun, dia lebih merenungkan kesalahannya. Lelaki yang usianya lebih tua dua tahun dari Patih itu memang tidak banyak bicara jika dirinya salah.

"Saya minta maaf pak," ujarnya setelah beberapa detik hening.

"Minta maaf kamu gak berguna buat perusahaan. Kamu tau seberapa pentingnya laporan sampe diadakan tiap hari, tiap minggu, tiap bulan. Tapi kamu anggap itu sepele," ujar Patih dengan suara pelan, tidak kalah merinding ketika mendengarnya.

SEJAWAT || SVTTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang