2.13 DIMAS RAHARJO

168 39 3
                                    

"Jelasin," ujar Satya yang sengaja jauh-jauh datang ke apartemen Dimas.

"Apa?" tanya Dimas. Keningnya mengerut tanda bahwa dirinya belum paham ke arah mana pembicaraan ini.

"Dim, lo tau gue orangnya ga suka basa basi busuk," celetuk Satya setelah menenggak minuman kaleng yang disuguhkan.

"Bentar dulu, ini abang bahas apa?" tanya Dimas lagi.

Satya menatap sekilas lelaki yang hanya mengenakan celana pendek dan kaos tidak berlengan di depannya.

"Dim, lo sadar ga sih apa yang lo lakuin sekarang salah?" Satya bertanya balik.

"Gue tau, lo sayang banget sama itu perempuan. Tapi inget, dia udah punya laki," lanjutnya mengatakan dengan serius.

Dimas membisu, pergerakannya terhenti saat mendengar kalimat menohok dari sahabat karib sejak masih duduk dibangku kuliah. Sama-sama hidup di perantauan, keduanya saling mengerti dan melengkapi. Hingga sampai dititik tidak ada yang bisa disembunyikan, apalagi tentang hal sensitif seperti hubungan asmara.

"Oh abang udah denger," kekeh Dimas berusaha mencairkan suasana. "Aku kira masalah apa, ternyata ini lagi,"

Balkon apartemen yang berada di lantai tujuh cukup dingin karena hembusan angin malam. Namun, keduanya tidak merasa terganggu sedikitpun.

"Aku sadar bang, seratus persen sadar kalo yang aku lakuin itu salah."

Dimas menghela napas berat. "Di dunia bagian manapun yang namanya perempuan sudah dinikahi, berarti sudah milik orang lain."

"Tapi bang, emang ga ada kesempatan gitu buat aku?" tanyanya pada Satya yang setia mendengar penjelasan dari Dimas.

"Ga ada. Jangan pernah sekalipun lo berpikir akan ada kebahagiaan di atas kerusakan sebuah rumah tangga," jelas Satya, orang digarda terdepan menolaknya hubungan Dimas dengan Lina, salah satu tim bagian HR yang diketuai oleh Satya.

"Dia ga bahagia bang sama lakinya," komen Dimas tidak terima. "Cerai aja sekalian lebih bagus, biar aku bisa nikahin langsung. Aku bakal jamin hidup dia lebih bahagia, abang juga setuju kan kalo aku ini lebih baik dari lakinya?" lanjutnya dengan penekanan emosi.

Satya kekeuh menggeleng. "Engga Dim, nikah gak segampang itu."

"Gini deh," ujar Satya setelah beberapa detik terdiam. "Coba lo tanya sama diri lo lagi. Seandainya kalo Lina beneran cerai sama lakinya, alasan lo nikahin dia beneran karena cinta atau cuma kasian?"

Dimas kalah telak, dari awal dirinya sudah salah langkah. Satya bukanlah orang yang bisa dikalahkan dalam hal perdebatan. Satya bisa dengan mudah membuat lawannya kena mental. Omongan yang keluar dari mulut Satya sangat menyakitkan bagi siapapun yang ingin mendapatkan jawaban jujur.

---

Pagi kali ini cerah. Namun, hati seorang anak tunggal yang sudah lama merantau ini masih mendung. Sejak obrolan semalam dengan Satya, Dimas bahkan lupa untuk tidur. Dia terus berpikir tentang salahkan dirinya jika jatuh cinta? Padahal dia hanya menjalankan kehidupannya sebagaimana manusia pada umumnya, sesulit itukah jadi manusia normal?

Pucuk dicinta ulam pun tiba. Wanita yang tengah berkeliaran di kepalanya tengah berjalan mendekat ke arahnya, tak lupa memamerkan senyuman paling indah setelah ibunya.

"Pagi-pagi gini gak bagus cemberut," sapanya hangat sembari menyerahkan satu gelas kopi.

Dimas tersenyum. "Mana bisa aku cemberut kalo bidadari di depanku aja senyumnya manis banget."

Lantas Lina tertawa. "Hahaha, kamu masih muda tapi jayus banget sumpah."

"Gapapa, yang penting cuma sama kamu doang, kak," jawab Dimas tanpa memudarkan senyumannya barang sedetik.

SEJAWAT || SVTTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang