3.5 ABITAMA NURWAHID

119 33 0
                                    

Rumah besar, harta melimpah, sukses di usia muda, dalam hubungan percintaan juga sedang mulus-mulusnya. Sekilas orang lain beranggapan kalau kehidupan seorang Abitama Nurwahid itu sempurna. Akan tetapi, dengan gamblang Tuhan menerangkan bahwa tidak ada yang sempurna selain-Nya. Dan itu sudah cukup menjelaskan kalau Abitama Nurwahid tidak sempurna.

Bagian sulit dalam hidupnya itu, ketika sosok yang dia kagumi dan hormati berubah menjadi orang yang paling dibenci. Ada kalanya Abitama lupa kalau ayahnya masih hidup, saking enggannya dia mengakui hal itu sampai-sampai ingin mencoretnya dari kartu keluarga. Perkara rumah tangga memang tiada habisnya, baik itu hubungan berlandaskan bisnis atau cinta sekalipun, seperti keadaan keluarga Abitama saat ini.

"Kak, uang habis," ucap adik satu-satunya, dia perempuan bernama Umayma Isnainnur.

"Pulang dari Melbourne jadi punya habbit baru ya kamu? boros banget akhir-akhir ini." Abitama menjawab tanpa menoleh, pandangannya fokus pada layar monitor yang menunjukkan sebuah desain ruangan. Tidak banyak yang tahu kalau kerja sampingannya adalah designer kecil, seperti design cafe atau butik.

"Hehe, engga kok," cengir Umay memamerkan gigi rapihnya, "kemarin abis dipakai beli bahan praktek, kak. Heran juga kenapa semester ini banyak prakteknya," lanjutnya mengambil posisi duduk disamping kakaknya.

Kamar yang cukup luas ini terbagi menjadi beberapa ruangan. Ada pintu masuk yang langsung di hadapkan kasur, geser ke kanan ada sofa untuk teman-temannya mengobrol agar tidak di atas kasur, di sebelah kiri ranjang ada kamar mandi dan walk in closet, lalu dibelakang kasur menjadi ruangan kerja yang disekat lemari kaca berisi beragam penghargaan semasa sekolahnya.

"Emang kemarin praktek apa, de? kok ga cerita," tanya Abitama memalingkan wajah untuk menatap adik perempuannya.

"Kakak kemarin kan ga pulang, nginep di rumah siapa itu namanya yang mirip hamster matanya." Umay mengerutkan keningnya berusaha mengingat teman Abitama yang terlalu banyak itu.

"Patih, de. Dia ga mirip hamster, lebih mirip barongsai menurut kakak," jawab Abitama, diusapnya kepala Umay dengan ketulusan.

"Iya juga sih, kelakuannya mirip. Adug lajer kalo kata orang sunda mah," kekeh Umay membuat kakaknya tertawa.

"Yaudah ade butuh berapa? nanti kakak transfer," tanyanya lagi.

"Dua ratus ribu, kak. Cukup buat seminggu ke depan sampe kakak ngasih jatah bulanan." Umay membuka laci didepannya, mengambil beberapa camilan milik Abitama.

"Ade mau ini," ujarnya sebelum membuka bungkusan coklat.

"Yaudah kakak transfer ya," ujar Abitama sembari mengambil coklat dan membukanya sebelum menyuapkannya ke Umay.

"Makasih kak," senyum Umay. "Maaf ya, ade ngerepotin kakak terus. Kakak yang ga wajib membiayai ade sama umi, malah harus mati-matian berjuang demi kita."

Abitama menggeleng. "Engga, de. Kakak ga pernah ngerasa direpotin sama sekali. Ade sama umi udah jadi tanggungjawab kakak, tanpa di minta juga kakak tetep bakal terus berjuang demi kalian."

Lelaki itu menangkap pancaran mata adiknya yang menyimpan kesedihan. Walaupun dirinya jarang memiliki waktu untuk sekedar kumpul bersama, Abitama selalu bisa merasakan apa yang tengah dirasakan mereka. Dia selalu memposisikan dirinya sebagai sosok kakak dan ayah bagi kedua wanita yang paling dia cintai.

"Kak, andai aja abi jadi sosok ayah yang benar. Kakak gak akan secape ini," lirih Umay menahan air mata, dia mencoba mengunyah coklat agar tidak terlalu sedih.

"De, kakak peluk, ya? sini," ujar Abitama membawa Umay kedalam dekapannya.

Satu hal lagi yang sulit dalam hidupnya. Abitama masih belum paham bagaimana menanggapi adiknya yang sedang bersedih. Karena setiap mendengar adiknya menangis, dirinya juga ikut menangis. Dan selalu berakhir dengan pelukan erat diselingi raungan hebat dari keduanya.

SEJAWAT || SVTTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang