3.12 AKSARA PANJI

110 22 0
                                    

"Day, beneran ga, sih?" tanya lelaki itu menatap adiknya setengah kaget setengah kagum melihat penampilan Dayana yang dibalut mukenah putih.

"Beneran." Dayana berjalan mencium tangan kakaknya yang baru saja pulang dari kantor, tidak lupa mengambilkan tas kerjanya kemudian diletakkan di atas meja.

Aksara menghela napas pelan, mulai melangkah masuk ke area ruang tamu. Dia duduk dan meluruskan kakinya sembari menunggu Dayana melepaskan pakaian ibadahnya. Dia menyandarkan kepalanya pada bahu sofa berharap pusing di kepalanya mereda. Siapapun orangnya, kalau melihat Aksara yang seperti ini pasti langsung beranggapan bahwa Aksara tengah mengalami stress berat.

"Heh, jangan dulu pingsan, nih minum." Dayana menyodorkan satu gelas air putih dingin, dia sangat tahu kebiasaan Aksara yang sering menyampingkan hal kecil seperti minum air.

Netra cokelat terang itu memerhatikan setiap gerakan Dayana yang kini duduk di sofa berhadapan dengannya. Terakhir kali dia bertemu Dayana empat tahun lalu, saat Aksara memutuskan untuk keluar dari rumah dan menjalani hidup lebih mandiri.

Jika kalian mengira keluarganya tidak baik-baik saja, kalian salah tebak. Aksara justru beruntung berada keluarga yang utuh dan bahagia. Dia mendapatkan kasih sayang, diperlakukan baik selayaknya orang tua pada anaknya, dia juga bersyukur memiliki adik perempuan yang sangat baik seperti Dayana. Namun, dia tidak pernah mengira bahwa keluarga sebaik mereka bukanlah keluarga kandung. Kenyataan itu terbongkar ketika Aksara remaja harus dapat transfusi darah karena kecelakaan tunggal yang dialaminya dan tidak ada yang cocok dengannya.

"Kenapa lo ninggalin ayah ibu?" Kalimat yang sebenarnya ingin dia tanyakan saat pertama kali Dayana datang menemuinya.

"Diusir," jawab Dayana dengan wajah yang tenang seperti tidak ada kekhawatiran.

Aksara memijat keningnya yang tiba-tiba terasa pening. Isi dalam kepalanya seakan berteriak, menanyakan banyak hal tentang kenapa hidupnya tidak pernah tenang. Andai saja dia tidak pernah mengetahui kenyataan kala itu, Aksara pasti bisa hidup tentram seperti empat tahun yang lalu.

"Lo gila, ya? apa yang ada di otak lo sampe pindah agama?" kesalnya menatap Dayana marah.

"Kan gue udah bilang, gue punya hak atas diri gue sendiri. Entah itu pilihan hidup, cita-cita, bahkan agama sekalipun." Perempuan itu menatap lebih tajam dari Aksara.

"Terus lo ninggalin ayah ibu gitu aja?" saut Aksara mengerutkan kening tidak percaya Dayana melakukan hal itu.

Dayana sempat terdiam beberapa saat. Tangan kanannya memegang garpu untuk menusuk buah melon favoritnya. Memasukkan beberapa potong ke dalam mulutnya dan memakannya hingga tak ada yang tersisa lagi.

"Jawab, Day," desak Aksara meminta penjelasan.

"Gue ga ninggalin ayah ibu, gue cuma pengen ngasih mereka waktu untuk berpikir," ungkap Dayana pelan.

"Apa yang gue pilih ini bener atau salah? Mereka perlu waktu untuk mikir kenapa gue mengambil keputusan sebesar ini dalam hidup. Jujur, ganti Tuhan ga semudah ganti case hp," jelasnya tetap tenang, sifat Dayana yang mendarah daging.

"Ga gampang nerima hal ini. Awal-awal gue juga nanya kenapa gue ngelakuin ini, apa yang sebenarnya gue cari, siapa yang harus gue percaya, dan untuk siapa gue ngelakuin hal ini?"

"Lo harus tau ini. Semakin lo cari, semakin banyak Allah ngasih petunjuk dan gue percaya itu. Akhirnya, gue nemuin sesuatu yang bikin hati gue adem," jelas Dayana tersenyum lebar.

"Kalo lo mikir gue pengen mereka masuk juga, jelas pengen banget. Tapi agama itu bukan sesuatu yang dijalankan dengan paksaan, harus murni dari keinginan sendiri. Jadi, jangan khawatir kalo gue akan mempengaruhi ayah ibu. Itu gak mungkin terjadi," lanjutnya berhasil menebak isi kepala Aksara saat itu.

SEJAWAT || SVTTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang