2.8 ARJUNA DWI PRASETYO

216 55 0
                                    

Hidup berdua dengan kakak perempuran bukanlah hal yang mudah. Sedikit banyak percekcokan terjadi, dari masalah sepele sampai masalah besar. Hingga keduanya lebih memilih untuk tinggal sendiri-sendiri. Padahal, dulu ketika Bunda dan Ayah dari Arjuna masih ada, keluarga ini sangat harmonis.

"Kak, dimana?" tanya Arjuna lewat telepon genggamnya.

"Dimana aja terserah gue, bukan urusan lo," jawab Sinta dari sebrang sana.

"Gue serius, lo dimana?" Arjuna mengulang pertanyaannya sebelum masuk ke dalam mobil hitam yang baru lunas bulan kemarin.

"Cafe, lagi ngopi." Akhirnya perempuan yang sebentar lagi berusia dua puluh tujuh itu menjawab meski tidak niat.

"Oke, tunggu di sana. Sepuluh menit lagi gue nyampe," titahnya mematikan telepon sebelah pihak sebelum Sinta mengoceh.

Arjuna sudah hafal tempat-tempat mana saja yang sering kakaknya kunjungi, seperti cafe dan resto yang buka dua puluh empat jam ini. Sinta sering ke sini sejak masih dibangku kuliah sampai sekarang, karena hanya di sini dia bisa makan ayam bumbu yang resepnya dari almarhum Bunda.

"Gue lagi gak mau denger wejangan dari lo." Bukan sapaan ramah kepada sang adik yang baru bertemu sejak dua bulan lalu.

"Gak akan, gue juga udah cape ngasih wejangan buat kakak," sahut Arjuna mendudukan diri menghadap keluarga satu-satunya.

"Jadi, ada perlu apa lo sampe nyamperin gue? Kurang duit?" todongnya menatap curiga pada Arjuna.

"Duit gue kayanya lebih banyak deh dari kakak," ujar Arjuna melengos kesal.

"Sombong amat," cibir Sinta.

Hening beberapa menit saat pelayan datang membawa pesanan susulan, Arjuna tampak sibuk dengan handphonenya. Dua menit kemudian, suara notifikasi muncul pada layar handphone Sinta. Sejumlah uang telah masuk rekening atas nama Sinta Eka Prasetya.

"Buat Rai, gue denger dia mau masuk ekskul balet," katanya, lalu menyeruput segelas lemonade.

"Siapa yang ngasih tau lo?" tanya perempuan itu dengan nada tidak bersahabat.

"Rai yang nelpon gue, dia curhat sendiri sambil nangis-nangis karena gak kakak ijinin."

Arjuna melanjutkan, "lagian kak, kalau emang lagi kesusahan harusnya kakak bilang. Ada gue gunanya buat apa sih? Anak seumur Rai lagi aktif-aktifnya, jangan banyak ngelarang."

"Jun. Gue gak suka lo bantu-bantu gue kaya gini."  Tatapannya menajam. "Gue harus bilang berapa kali lagi sih? Urusan keluarga gue biar gue yang urus," ketusnya dengan emosi yang mulai naik.

"Rai dan kakak juga keluarga gue!" bentak Arjuna tidak sengaja membuat Sinta kaget bukan main. Mungkin, ini adalah bentakan cukup keras selain kejadian empat tahun yang lalu.

"Dan gue gak suka!" Sinta meninggikan suaranya tidak peduli bagaimana orang-orang mulai berkomentar.

"Kak, tolong. Gue minta tolong sama kakak untuk yang ini aja." Arjuna menggenggam tangan kanan Sinta.

"Biarin gue jadi keluarga buat kakak, buat Rai. Gue udah gak punya siapa-siapa lagi selain kalian berdua," lirihnya mencoba menetralisir emosi yang terjadi.

"Makannya nikah," celetuk Sinta menepis tangan adiknya begitu saja.

Arjuna diam, dia tahu sekeras apapun usahanya merangkul kembali Siska dalam dekapannya akan sia-sia. Berapa kali dia mencoba untuk mendekatkan lagi hubungan dengan kakak perempuannya juga tidak akan membuahkan hasil apa-apa. Dan itu yang membuat dia merasa sangat bersalah sampai detik ini dan seterusnya.

SEJAWAT || SVTTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang