empat

23.5K 1.8K 54
                                    

Tidak ada yang berubah dari Wulan setelah Dhara mengetahui mengenai penyakitnya. Ia masih beraktivitas seperti biasa. Dhara mulai mencari pekerjaan baru secara diam-diam, masih bertekad untuk menambah penghasilannya dan mengobati Wulan.

Siang itu, ia sedang duduk di taman kota, di bawah pohon yang rimbun dan meneduhi tubuh Dhara dan juga sepeda tuanya. Sambil mengunyah, mata Dhara mencari-cari lowongan pekerjaan di koran yang sesuai dengan kualifikasinya. Dhara tidak punya koneksi. Mau meminta bantuan Anindita, Dhara tidak mau. Orang tua Anindita membencinya. Mereka pernah memaki Dhara saat usianya masih lebih muda, hanya karena Anindita memberikannya uang untuk melunasi biaya bukunya di sekolah.

Dhara sudah menolak bantuan Anindita, tetapi ia memaksa Dhara supaya menerima bantuannya. hasilnya, Dhara tetap kena getah. Tidak hanya dirinya, Wulan juga ikut dimaki. Gara-gara itu, Dhara tidak pernah lagi menerima bantuan Anindita. Bahkan walau ia memaksa.

"Work life balance. Kamu bakal mati kalau nggak istirahat."

Dhara menatap Shaka yang berdiri di depannya. Keningnya berkerut. Matanya masih sembab. Dhara menangis diam-diam semalaman begitu tahu tentang penyakit Wulan. Ia tidak mau Shaka melihatnya dalam kondisi lemah begini. Ia mendengkus.

"Not your life, not your problem!" ketus Dhara sambil menatap koran lagi.

Matanya berbinar ketika melihat lowongan yang sesuai untuknya. Pegawai pabrik. Dhara bisa bekerja di pabrik dan menghasilkan lebih. Namun, sebelum Dhara sempat membaca informasi lebih lanjut, koran yang ia pegang diambil oleh Shaka.

"Robot aja rusak kalau maksa kerja 24 jam," kata Shaka sambil melipat korannya dan melirik pada Dhara yang siap menerjangnya. "Kenapa kamu nggak terima tawaran saya? Kamu butuh uang."

"Saya nggak mau," balas Dhara, menutup kotak bekalnya dan meneguk minumannya. "Kembaliin koran saya."

Shaka tersenyum, meletakkan kartu namanya ke tas Dhara. "Pikirkan lagi baik-baik."

Dhara mendengkus, menyimpan kotak bekal dan botol minumnya ke dalam tas. Ia lalu melengos pergi dari hadapan Shaka, mengayuh sepeda tuanya menuju Papa resto untuk melanjutkan pekerjaannya. Ia tidak akan menelepon Shaka! Selain ia tak punya ponsel, ia juga tidak membutuhkan Shaka.

Bohong kalau Dhara tidak butuh uang Shaka, tetapi tingkah Shaka yang angkuh membuat Dhara muak. Ia lebih suka disuruh jadi pembunuh bayaran daripada menikahinya. Dhara melanjutkan pekerjaannya, kembali ke rumah saat sore untuk mandi dan berganti pakaian. Wulan sedang bersiap-siap berangkat ke Centennial saat Dhara mandi. Wajahnya masih pucat seperti kemarin, membuat Dhara cemas.

Ketika ia keluar dari kamar mandi dan masih berbalut handuk, Dhara melihat Wulan yang meringis kesakitan sambil memegangi perutnya. Ia terduduk di lantai, nampak tak kuasa menahan sakit.

"Tante!" pekik Dhara menghampiri Wulan yang kesakitan. Oh Tuhan! "Kita ke rumah sakit!"

Dhara berlari menuju kamarnya, mengambil pakaian asal dan memapah Tantenya keluar dari rumah. Dhara tak lupa membawa tasnya, semua barang-barangnya yang mungkin dibutuhkan untuk mengurus administrasi rumah sakit ada di sana. Dhara terseok-seok memapah Wulan yang kesakitan menuju tepi jalan, mencari taksi dan pergi ke rumah sakit.

Uang Dhara jelas tak banyak untuk naik taksi, tetapi ini keadaan darurat. Ia mengeluarkan simpanannya untuk membayar taksi. Wulan segera di bawa ke ruang perawatan untuk diperiksa oleh dokter. Dhara menunggu dengan wajah pucat. Rambutnya masih basah, tidak disisir. Ia mengenakan terusan yang pernah Wulan belikan untuknya. Jarang Dhara pakai karena terusan itu sangat cantik, tetapi terusan itu yang paling mudah dikenakan dibanding pakaian lain sehingga Dhara memilihnya.

Rented WifeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang