Hubungan Dhara dan Shaka sedikit mendingin sejak Shaka memutuskan untuk menyentuh batas tipis dari kata pelanggaran di kontrak mereka. Dhara tidak bisa memutuskan apakah yang Shaka lakukan adalah pelanggaran pasal kontrak atau tidak. Masalahnya, Dhara menikmatinya. Mereka tak banyak membahas soal malam itu, tetapi berbicara dengan lebih tenang tanpa tatapan tajam atau makian seperti biasanya.
Shaka tidak lagi mencoba memancing emosi Dhara. Ia bersikap lebih baik dari biasanya dan menuruti keinginan Dhara secara langsung maupun tak langsung. Secara keseluruhan, bendera perang yang biasa berkibar di antara keduanya lenyap begitu saja.
"Istrimu jago main golf," puji Rendra, kolega bisnis Shaka yang lebih tua darinya.
Pria itu hampir menginjak usia enam puluh, seharusnya sudah pensiun. Namun, ia masih memutuskan untuk ambil bagian sebagai komisaris perusahaan.
"Saya baru mengajarinya minggu kemarin," balas Shaka, terdengar membanggakan. "Ia cepat belajar dalam segala hal."
Rendra tersenyum, menepuk bahu Shaka sambil berkata, "Om nggak pernah lihat kamu mabuk kepayang begini. Istrimu pasti seistimewa itu."
Senyum Sakha sedikit pudar ketika mendengar ucapan Rendra. Mabuk kepayang. Matanya melirik Dhara yang sedang bicara dengan istri Rendra, Hartanti. Perempuan itu tampak mendengarkan semua ucapan Hartanti dengan seksama dan penuh antusias, menunjukkan sikap seolah ia senang mendengar ceritanya. Namun, Shaka tahu jika Dhara tidak sedang pura-pura senang. Matanya yang berbinar dan senyum penuh pengertiannya menunjukkan semua.
"Jangan dilihat terus istrimu, nggak akan hilang kok," kata Rendra sambil tertawa.
Shaka membalas dengan senyuman. "Nggak kok, Om."
"Jangan bohonglah kamu. Om juga pernah muda," kata Rendra seraya melirik istrinya sendiri. "Matamu nggak bisa bohong. Kalau ada efek, udah keluar efek hati dari matamu."
Shaka lagi-lagi tersenyum. Mabuk kepayang. Dua kata yang tak pernah terjadi dalam hidupnya. Ia menatap Dhara lagi, bertanya-tanya apakah Dhara berhasil membuatnya mabuk kepayang? Dhara adalah istrinya. Istri sewaannya. Namun, Shaka beberapa kali menyadari jika ia mencoba melewati batas dan beberapa kali pula ia membenci pasal kontak fisik yang ia buat sendiri. Ia ingin menyentuh Dhara, di publik ataupun privat.
"Mungkin begitu," gumam Shaka tanpa sadar membuat Rendra tertawa lagi.
"Bukan mungkin, tapi memang begitu adanya." Pria itu mengayunkan stik golfnya dengan gerakan yang masih mantap dan sempurna. "Hole in one."
Shaka mengedipkan matanya. Memang begitu adanya. Shaka tidak bisa tidak mengakuinya. Perasaannya berbeda untuk Dhara. Bukan karena kejadian kemarin, tetapi sejak ia melihat Dhara mengenakan gaun merah marun itu. Sejak Dhara menggigit bibirnya kasar dan bertingkah menyebalkan. Shaka ingat betapa jengkel dirinya ketika perempuan itu menolak bicara padanya dan mendiamkannya berhari-hari.
Ia menginginkan Dhara sebagai miliknya, bukan lagi sebagai istri sewaan.
"Udah selesai?" Hartanti mendekat pada mereka, memberikan saputangan kepada Rendra.
Pria itu menerima saputangan yang Hartanti berikan sambil berterima kasih. Shaka melirik Dhara yang mendekat dalam balutan kaus warna kuning pucat dan rok golf putih sepaha. Dhara kelihatan bersinar di bawah cahaya matahari. Shaka sampai tidak mengedipkan matanya ketika menatap Dhara.
Perempuan itu memberikannya botol air mineral dengan wajah datar. Shaka menerimanya, masih memandangi Dhara lekat.
"Dhara pinter masak loh, ternyata," kata Hartanti membuat Shaka beralih padanya. "Dia ngajarin resep baru ke saya barusan."

KAMU SEDANG MEMBACA
Rented Wife
General FictionShaka Alastair bersedia membayar Dhara untuk menjadi istrinya. Bayarannya tinggi, dengan kontrak yang jelas dan Dhara juga tak perlu melayani Shaka karena laki-laki itu terduga hompimpa alaihum gambreng alias penyuka sesama jenis. Masalahnya, Shaka...