Pagi hari, Shaka dan Dhara memutuskan untuk sarapan bersama di ruang makan tanpa saling bicara sampai Esa datang dan menatap wajah Shaka dengan kening berkerut. Shaka nampak rapi seperti biasanya, tetapi esa menemukan dua luka yang masih baru di bibir Shaka. Letaknya pun sangat aneh. di bibir atas dekat sudut sebelah kanan dan juga bibir bawah tepat di tengah-tengahnya.
"Apa Anda berkelahi dengan seseorang di acara kemarin, Pak?" tanya Esa heran lalu melirik Dhara.
Dhara tak menjawab, mengunyah sarapannya tak tertarik. Shaka melirik Esa sejenak, lalu beralih menatap Dhara tanpa menjawab pertanyaannya. Esa menarik napas panjang.
"Kalian berdua berkelahi?"
"Tidak," kata Shaka datar sambil menatap Dhara. "Seorang perempuan menggigit bibir saya dua kali padahal saya sudah memberinya ciuman yang luar biasa."
Dhara mendelik, menatap Shaka dengan wajah seolah ingin menguliti pria itu. Esa meringis masam dan menggeleng, tidak mau memikirkan apa yang kedua orang itu lakukan. Jika itu sebuah ciuman, Esa yakin ciumannya sangat panas dan penuh kemarahan sampai bibir Shaka bisa seperti itu. Dhara memang bukan sembarangan perempuan.
"Apapun kegiatan kalian baik publik maupun di dalam kamar, saya harap kalian tidak melukai wajah dan leher satu sama lain," kata Esa serius. "Penampilan itu sangat penting."
Shaka masih menatap Dhara yang nampak jengkel tanpa bicara. Sementara, Dhara membalas tatapannya geram, menolak untuk bersuara. Oh, Tuhan! Esa sudah cukup lelah dengan ulah Shaka yang menginginkan pernikahan dalam waktu tiga minggu ke depan. Jangan tambahkan lagi dengan perkelahian mereka! Esa hampir gila sedikit lagi.
"Panggilkan Devina dan kembali ajarkan etika bicara," kata Shaka pada Esa. "Calon istri saya sangat suka mengumpat. Ia tidak boleh mengunjungi Tantenya hari ini."
Dhara meletakkan sendoknya dengan kasar ke meja. "Who the fuck are you, restraining me from visiting my aunt?"
"Your benefactor and husband," balas Shaka, tersenyum miring.
"Choke on your dick!" Dhara menatap Shaka tajam.
Esa mengusap wajahnya. Pagi-pagi sekali, ia sudah berkeringat dingin. Ia melirik Shaka yang diam selama beberapa saat, menatap Dhara dengan tatapan yang nampak menggelap sejenak, tetapi ia kembali memasang seringai menyebalkannya.
"Why don't you? Get down on your knee and choke on my dick," balas Shaka membuat Dhara mendelik.
"Fuck you!" desis Dhara geram.
"I'll go down and fuck you if that's what you want."
Oh, ini mulai tak baik. Esa segera turun tangan sebelum Dhara membalas.
"Tenangkan diri Anda, Pak, Nona!"
Dhara memutar bola matanya malas, menelan sarapannya dan pergi meninggalkan Shaka begitu saja. Shaka menatap Dhara yang meninggalkannya dengan tatapan lekat, tapi tak mengatakan apapun. Esa mengamati Shaka yang tersenyum miring. Ia mengernyit. Shaka tidak pernah memprovokasi perempuan sampai seperti ini. Antara pria itu sangat membenci Dhara, atau Shaka menyukainya.
"Awasi dia," kata Shaka pada Esa.
Esa mengangguk. Shaka menyelesaikan sarapannya, beranjak hendak menuju kantornya. Esa membungkuk sopan, tanpa sengaja melirik cincin di jari manis tangan kiri Shaka. Dhara sudah melepaskan cincinnya, tetapi Shaka sepertinya lupa untuk melepaskan cincinnya. Namun, Esa tidak menegurnya atau mengatakan apapun. Kalau Shaka mau melepaskannya, ia akan melepasnya sendiri.
Shaka berangkat ke kantornya. Sementara, Dhara berdiri di jendela kamarnya dengan wajah geram, menatap mobil Shaka yang meninggalkan mansionnya dan mengacungkan jari tengahnya kepada mobil Shaka. Ia lalu beranjak keluar dari kamarnya menuju perpustakaan Shaka. Dhara menyempatkan diri untuk membaca sebentar sebelum Devina datang dan kembali memberikan pendidikan etika bicara pada Dhara yang ia ikuti dengan setengah hati.
Setelah Devina pergi, Dhara memutuskan untuk membantu Retno, bibi asisten rumah tangga Shaka yang paling lama bekerja untuk berberes. Retno jelas sempat melarangnya, tetapi Dhara kekeuh ingin membantu. Setelah selesai membantu, Dhara memutuskan untuk membuat kue dari bahan-bahan yang ada di dapur Shaka, membagi-bagikan kuenya pada pegawai mansion yang lain, lalu kembali membaca buku di perpustakaan.
Shaka masih belum kembali saat Dhara selesai mandi dan makan malam, sehingga ia kembali lagi ke perpustakaan Shaka dan membaca lagi. Dhara selalu suka membaca karena buku adalah jendela dunia. Selain itu, ia tak boleh mengunjungi Wulan dan tidak punya kegiatan lain selama seharian di rumah Shaka. Biasanya, ia sibuk bekerja. Dhara merasa aneh jika tidak bekerja begini. Dhara masih membaca, hingga ia tertidur di perpustakaan tanpa diketahui oleh siapapun.
Mansion terasa sepi ketika Shaka pulang. Biasanya memang selalu sepi, tetapi Shaka akan melihat jejak-jejak Dhara begitu ia pulang.
"Siapa yang bikin kue?" tanya Shaka seraya mencicipi kue pai buah yang dibuat oleh Dhara kepada Retno.
"Non Dhara," kata Retno sambil tersenyum. "Dia pinter bikin kue, Den. Rajin bebersih juga. Dia bantuin Bibi terus dari siang."
Shaka menatap kue pai buah buatan Dhara. Rasanya enak. Shaka tidak pernah makan pai buah yang lebih enak dari ini. Dhara memang cakap dalam pekerjaannya, seperti yang profilnya katakan. Shaka melirik pintu kamar Dhara yang tertutup.
Ia menghela napas, menghabiskan makan malam sendirian dan membersihkan diri. Shaka diam-diam menguping suara Dhara di kamar sebelah. Kamar Dhara tidak kedap suara. Hanya kamarnya saja, supaya Shaka bisa mendengar apa yang Dhara lakukan. Biasanya Dhara selalu tenang, atau kadang Shaka mendengar langkah kakinya jika ia beranjak menuju toilet. Namun, ia tak mendengar apapun. Shaka bertanya-tanya mungkinkah Dhara sudah tertidur.
Ia beranjak keluar dari kamarnya, mengetuk pintu kamar Dhara beberapa kali yang sayangnya tak mendapat jawaban. Shaka membuka pintunya perlahan, tidak terkunci. Ia melirik ke dalam kamar Dhara yang kosong. Keningnya berkerut. Ia melangkah masuk, menemukan ponsel Dhara tergeletak begitu saja di atas ranjang. Tasnya masih ada di meja, menandakan jika ia tidak pergi ke mana-mana.
Shaka beranjak keluar dari kamar Dhara, mencari Retno yang sedang mencuci piring di dapur.
"Mana Dhara?" tanya Shaka dengan kening berkerut.
"Memangnya nggak ada di kamarnya, Den?" tanya Retno heran.
Shaka menggeleng. Ke mana Dhara pergi? Apakah ia pergi tanpa seizinnya lagi?
"Oh, mungkin di perpustakaan. Tadi siang, Non Dhara baca buku di sana. Coba aja Den Shaka samperin," kata Retno.
Shaka menghela napas, memutar tubuhnya dan beranjak menuju ke perpustakaan. Lampunya menyala dan Shaka menemukan sosok Dhara yang sedang terlelap di meja dengan sebuah buku masih terbuka di tangannya. Dhara sedang membaca buku tentang traveling. Sepertinya, ia tertarik berkeliling dunia. Atau ia hanya sedang bosan. Shaka memberi pembatas pada halaman yang Dhara baca, menyimpannya kembali ke rak dan menggendong Dhara menuju ke kamarnya dengan hati-hati.
Dhara tertidur dengan tenang, hampir tak bangun bahkan saat Shaka tanpa sengaja menabrakkan kakinya ke pintu. Ia membaringkan Dhara ke atas ranjangnya, menyelimut Dhara dan memindahkan ponsel Dhara ke meja rias di samping tasnya. Shaka menatap wajah Dhara yang kelihatan kelelahan. Kantung hitam di bawah mata Dhara berangsur menghilang setelah Shaka mengurus pengunduruan diri Dhara dari tiga tempatnya bekerja.
Shaka menatap Dhara lagi, melirik bibirnya sekilas. Satu sudut bibirnya terangkat, membentuk senyum miring selama beberapa detik. Perempuan itu ganas dalam persoalan beradu bibir. Shaka menyentuh bekas luka di bibirnya sejenak, menghela napas dan menggeleng menatap Dhara yang terlelap. Kalau sedang tidur begini, Dhara sama sekali tidak kelihatan seperti perempuan keras kepala. Ia melangkah mundur, mematikan lampu kamar Dhara dan kembali ke kamarnya untuk tidur.
KAMU SEDANG MEMBACA
Rented Wife
General FictionShaka Alastair bersedia membayar Dhara untuk menjadi istrinya. Bayarannya tinggi, dengan kontrak yang jelas dan Dhara juga tak perlu melayani Shaka karena laki-laki itu terduga hompimpa alaihum gambreng alias penyuka sesama jenis. Masalahnya, Shaka...