Pagi-pagi sekali, asisten Shaka sudah menjemputnya. Ia adalah seorang pria yang nampak sebaya dengan Shaka. Pria itu juga tampan, berkacamata dengan wajah khas Asia Tenggara. Matanya besar, dengan bulu mata lentik dan alis lebat. Hidungnya tidak terlalu mancung, tetapi ketika ia tersenyum, Dhara bisa melihat lesung pipinya.
"Selamat pagi, Nona Dhara." Ia mengulurkan tangannya, menjabat tangan Dhara.
Dhara berdiri, menyadari jika pria itu lebih tinggi satu kepala darinya. Dhara membalas jabatan tangannya dan tersenyum.
"Saya Mahesa Purwadi, biasa dipanggil Esa," katanya sambil tersenyum. "Pak Shaka meminta saya untuk menjemput Nona dan membawakan dokumen yang diperlukannya."
Esa memberikan secarik kertas kecil pada Dhara, berisi dokumen yang Dhara perlukan. Dhara menatap Esa yang tersenyum. Ia melirik kamar tempat Wulan dirawat.
"Tante saya belum bangun."
"Saya bisa minta perawat untuk menemani Tante Anda dan memberitahu Beliau jika Anda pergi mengurus pernikahan," kata Esa membuat Dhara menggeleng.
"Minta perawat menemani Tante saya, tapi jangan beritahu dulu soal urusan pernikahan ini," balas Dhara.
"Baik. Silakan ikut saya," katanya. "Oh, Pak Shaka juga meminta saya memberikan alas kaki untuk Anda."
Dhara melirik kakinya yang kotor. Sejak semalam, ia berkeliaran tanpa alas kaki. Dhara bahkan tak peduli lagi soal alas kaki. Esa meletakkan sepasang sandal baru yang ia bawa di tas hitam kecil sejak tadi. Sandal itu berwarna kuning muda, sama seperti terusan yang Dhara kenakan. Dhara mengerutkan kening.
"Shaka?"
"Benar. Pak Shaka meminta saya membelikan sandal untuk anda," jawab Esa. "Silakan pakai dan ikut saya.
Dhara segera memakai sandalnya, lalu mengikuti Esa. Pria itu menelepon seseorang sementara ia menuntun Dhara, berbicara pada salah satu bawahannya dan meminta mereka melakukan apa yang Dhara minta. Dhara mengerutkan kening. Asisten juga punya bawahan?
Dhara tak berkomentar, dia saja ketika Esa mengantarnya ke sebuah mobil hitam mewah mengkilat yang membuat mata Dhara silau. Ia membukakan pintu penumpang, mempersilakan Dhara masuk dengan sopan. Lalu, mengemudikan mobil menuju kediamannya dengan arahan Dhara.
Esa menunggu di depan rumahnya. Sementara Dhara membersihkan diri dengan cepat, memakai celana jeans dan kemeja putih satin yang ia miliki. Dhara hanya menyisir rambutnya, tak mau repot-repot berdandan dan mengambilkan dokumen dari lacinya. Sisanya harus diurus ke kantor RT atau RW setempat, tetapi Esa memberitahu Dhara jika ia akan mengurus sisanya.
Pria itu kemudian mengantar Dhara menuju sebuah restoran. Dhara melihat beberapa konglomerat yang sering ia temui di Centennial sedang sarapan di sana. Beberapa yang mengenali Dhara menatapnya heran. Dhara tak berekspresi, mengikuti Esa menuju lantai dua. Di sana, hanya ada Shaka yang sedang menunggunya sambil menatap personal tabletnya.
"Pak Shaka," panggil Esa saat tiba di hadapannya.
Shaka mengangkat wajahnya, menatap Esa sejenak dan beralih pada Dhara.
"Duduk," suruhnya.
Dhara menurut, duduk di hadapan Shaka. Esa berbalik pergi meninggalkan mereka berdua. Seorang pelayan membawakan sarapan ke meja mereka. Shaka tak mengatakan apa-apa, mengangkat sendoknya untuk menikmati sarapannya. Dhara menatapnya dengan kening berkerut. Kapan mereka akan bicara?
"Makan. Saya nggak mau ngurus orang pingsan," kata Shaka mengulang kalimatnya semalam.
Dhara menggertakkan giginya, menurut dan mengangkat sendoknya. Ia mengerjap, sedikit terkejut saat merasakan rasa makanan yang ia makan. Tanpa banyak bicara, Dhara menghabiskan sarapannya dalam diam. Ia kelaparan. Sejak semalaman, Dhara belum makan. Ia sama sekali tak memikirkan makanan di tengah keadaan Wulan.

KAMU SEDANG MEMBACA
Rented Wife
General FictionShaka Alastair bersedia membayar Dhara untuk menjadi istrinya. Bayarannya tinggi, dengan kontrak yang jelas dan Dhara juga tak perlu melayani Shaka karena laki-laki itu terduga hompimpa alaihum gambreng alias penyuka sesama jenis. Masalahnya, Shaka...