tiga belas

22.1K 1.6K 21
                                    

Wulan mengerutkan keningnya ketika melihat Dhara datang ke kamarnya. Bukankah ia baru menikah kemarin? Kenapa sudah kemari lagi?

"Kamu nggak bulan madu?" tanya Wulan menatap Dhara yang baru datang sambil menjinjing kantung plastik berisi buah.

Dhara berhenti sejenak, berjengit mendengar ucapan Wulan dan mendengkus. Ia mendudukkan diri di kursi pembesuk seraya membuka kantung plastiknya. Wulan masih mengerutkan kening menatap Dhara yang, yah, kelihatan lebih cerah dari sebelumnya. Mungkin aura pengantin baru, atau Dhara bersenang-senang semalam.

Wulan melirik leher Dhara yang terdapat bercak merah kontras dengan kulitnya, tertutupi kerah kemeja hitam yang ia kenakan dan rambutnya yang tergerai. Senyum jenaka terpatri di wajah Wulan. Ia menatap Dhara lekat, membuat Dhara yang tadinya sibuk membuka kantung plastik dan menyusun buah-buahan di keranjang kecil di sebelah nakas Wulan meliriknya.

"Apa?" tanya Dhara dengan kening berkerut.

"Enak?" balas Wulan bertanya, mengerling pada leher Dhara membuat perempuan itu langsung merah padam.

Wulan tergelak seketika melihat reaksi Dhara. Jarang sekali ia bisa melihat Dhara memerah wajahnya. Sementara Dhara hanya bisa mendumal karena teringat kejadian semalam. Ia terpaksa masturbasi setelah sekian lama karena tubuhnya menginginkan lebih. Sialan, Dhara murka sekali menyadari jika tubuhnya menginginkan Shaka.

"Apa sih, Tante!" ketus Dhara kesal seraya mengupaskan buah apel untuknya.

Wulan masih tergelak, meredakan tawanya dan mengulum senyum seraya mengamati Dhara. Ia bernapas panjang, merasa puas dan lega melihat Dhara yang walau marah-marah tetapi kelihatan bersinar. Dhara, bumi baginya, segalanya.

"Tante sempat ragu awalnya kamu mau menikahi Shaka, tapi setelah kenal, Tante tahu kenapa," kata Wulan sambil tersenyum. "Dia baik, memperhatikan kebutuhanmu dan ..." Wulan mengerling. "Tante nggak perlu nyebut soal urusan ranjang kan?"

Dhara berdecak, membuat Wulan terkekeh lagi.

"Yah, pokoknya Tante lega kamu di tangan yang baik."

Tangan yang baik? Baik untuk membuatnya orgasme? Dhara mendengkus dan menggeleng. Kenapa malah berpikiran ke sana?

Ia menatap Wulan yang nampak puas, diam-diam merasa bersalah karena membohongi Wulan soal pernikahannya. Satu tahun kemudian, ia dan Shaka akan bercerai. Tidak ada yang namanya bahagia selamanya. Dhara tidak menyebutkan apa-apa, menyembunyikan kenyataan jika ia pun tak terlalu merasa bahagia. Berkecukupan iya, bahagia? Mungkin masih belum.

Dhara merawat Wulan, berbicara dengan dokter yang menangani penyakitnya saat ia datang memeriksa dan mengucapkan terima kasih atas usahanya untuk menyembuhkan Wulan. Dokter itu sampai bosan mendengar ucapan terima kasih Dhara yang sama setiap harinya. Namun, ia tersenyum karena menyukai sosok Dhara yang santun.

Wulan tertidur setelah minum obatnya. Baru pukul dua siang ketika Wulan tidur. Dhara beranjak keluar dari kamarnya untuk mencari udara segar. Ia berjalan ke sekitar taman rumah sakit, duduk di salah satu bangku yang diteduhi oleh pepohonan rindang di taman rumah sakit. Mata Dhara memandangi sekeliling. Taman masih sepi, tidak ada yang jalan-jalan jam dua siang begini.

Ia menyandarkan punggungnya di bangku dan menghela napas panjang. Dhara memejamkan mata lama, mencoba melupakan keresahannya tentang Wulan. Dokter bilang tumornya menyebar lagi. Terapi yang dilakukan oleh Wulan tidak bisa menyembuhkannya, hanya bisa menghambat penyebarannya. Hal itu membuat Dhara kehilangan harapannya. Ah, ia harus bagaimana?

"Permisi?"

Dhara membuka matanya, mendapati pria berjas putih berdiri di sebelah kursinya. Pria itu mengenakan kacamata, dengan rambut digunting cepak dan wajah khas Asia Timur. Ketika tersenyum, matanya menyipit dan rona merah di pipinya menunjukan jika ia tak bisa berjemur terlalu lama di bawah teriknya matahari.

"Boleh saya duduk di sini?" tanyanya yang Dhara angguki. Ia duduk di sebelah Dhara, mengeluarkan sebungkus roti isi besar dan membaginya menjadi dua. Ia menyerahkan salah satunya pada Dhara. "Saya Matteo."

Dhara ingin menolak roti isi yang ia berikan, tetapi karena pria itu tersenyum hangat padanya, Dhara tak jadi menolaknya. Ia menerima roti isi yang diberikan oleh Matteo sambil tersenyum. "Dhara. Terima kasih."

Matteo mengangguk seraya menggigit rotinya. "Menemani orang tua?"

"Tante saya," kata Dhara pelan. "Kanker serviks stadium tiga."

"Bu Wulan?" tanya Matteo membuat Dhara menatapnya heran dan mengangguk.

"Kok tahu?"

Matteo kembali tersenyum. "Boleh ngomong santai?" tanyanya yang Dhara angguki. "Bu Wulan sering jalan-jalan pagi sama aku di taman. Dia sering cerita soal kamu."

Dhara membulatkan bibirnya, manggut-manggut seraya menggigit rotinya. "Kayaknya jarang ya yang ngalamin kanker serviks, sampai kamu langsung kenal tanteku begitu sebut penyakitnya."

"Memang kasus yang jarang," kata Matteo tenang. "Ngomong-ngomong, selamat atas pernikahanmu."

Dhara mengangkat alisnya, menatap Matteo sejenak dan tersenyum. "Terima kasih."

Matteo mengamati reaksi Dhara yang cenderung kaku begitu pernikahannya disebut. Wulan bilang jika Dhara menikahi pengusaha tambang dan bahagia, tetapi di mata Matteo, perempuan itu malah kelihatan ogah-ogahan daripada bahagia. Ia melirik tangan kiri Dhara yang sepi, tak ada cincin berlian atau cincin emas. Begitu juga tangan kanannya. Ia menatap Dhara lagi yang wajahnya nampak kusut. Rambut panjangnya diikat asal sehingga Matteo bisa melihat bekas-bekas merah yang ditinggalkan oleh suaminya.

"Kamu baik-baik aja?" tanya Matteo akhirnya membuat Dhara tersenyum masam.

"Nggak terlalu," jawab Dhara terang-terangan. "Aku nggak bisa ngerasa baik-baik aja setelah tahu kalau penyakit tanteku nggak menunjukkan kesembuhan."

Bahu Dhara nampak sedikit turun dan wajahnya berubah muram. Matteo bisa melihat jika Dhara seorang pekerja keras, dari tangan, postur tubuh dan tatapan matanya.

"Tantemu pasti kuat," hibur Matteo. "Berdoa yang terbaik buat tantemu."

Dhara melirik Matteo, tersenyum seraya menghabiskan roti isinya. Pria itu memberikan Dhara minumannya, lalu meneguk sisanya setelah Dhara selesai minum. Ia mengamati Dhara lagi. Dhara tidak secantik yang dikatakan oleh Wulan, tetapi Matteo merasa terpikat begitu melihatnya. Mungkin karena pembawaannya yang tenang dan penuh percaya diri? Atau karena aura Dhara yang terasa dewasa?

"Kamu keponakan yang baik. Jarang-jarang ada keponakan yang menunda bulan madunya demi mengurus tantenya," komentar Matteo membuat Dhara tersenyum miring.

"Aku cuma punya tanteku di dunia ini," jawab Dhara membuat Matteo manggut-manggut, tak bertanya di mana orang tua atau sana saudara Dhara yang lain. "Lagian, aku nggak minat bulan madu."

Kalimat terakhir Dhara membuat Matteo memiringkan kepalanya dan menatap Dhara heran. Kenapa nada bicaranya terdengar ketus dan cenderung penuh kebencian? Dhara beranjak bangkit, menghadap Matteo dengan senyum tipis.

"Makasih rotinya," kata Dhara sambil menatap Matteo dengan matanya yang menyorot bersahabat.

Hembusan angin menerbangkan anak-anak rambut Dhara. Matteo mengedipkan matanya sesaat, tertegun ketika ia sepenuhnya bisa melihat sosok Dhara. Ia tidak cantik, tetapi sesuatu tentang Dhara membuat Matteo terpikat. Jantungnya berdegup sedikit lebih cepat dari biasanya. Matteo bukan orang bodoh, ia seorang dokter. Ia tidak cuma terpikat, tetapi juga ingin mengenal Dhara lebih dekat lagi.

"Sama-sama," jawab Matteo.

Dhara mengangguk, melangkah menuju ke arah gedung rumah sakit. Matteo lagi-lagi menatap Dhara yang berjalan menjauhinya, mengamati cara Dhara berjalan, mengamati rambutnya yang bergoyang ketika ia melangkah dan gerak-gerik Dhara menyapa orang lain yang ia temui dalam perjalanannya. Ia menyentuh dada kirinya, merasakan kehangatan menyebar di sana. Matteo menggeleng pelan. Ia tidak boleh memiliki perasaan seperti ini pada orang yang baru ia temui. Apalagi, orang itu bersuami.

Gila. Matteo segera beranjak meninggalkan taman sambil mendoktrin dirinya supaya membuang semua keinginan dan perasaan yang mendadak muncul begitu melihat wajah Dhara.

Rented WifeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang