enam

21.6K 1.9K 39
                                    

Dhara menarik napas panjang, merebahkan tubuhnya di ranjang empuk yang tersedia di kamarnya. Secara teknis kamar ini milik Shaka, tetapi pria itu memberikannya kepada Dhara untuk ditempati sampai satu tahun ke depan. Syukurlah mereka tidak harus tidur sekamar. Dhara bisa ketempelan roh halus sungguhan bila terjadi.

Kamar yang diberikan oleh Shaka sangat luas. Hampir seluas kontrakan yang ia tempati. Dhara jadi bertanya-tanya, mengapa Shaka tidak membuka kos-kosan saja. Rumah, maksudnya mansion Shaka benar-benar besar dan bisa ditempati oleh sepuluh orang lagi kalau mau. Ketika Esa mengantarnya sampai ke depan rumah, Dhara sampai melongo melihat betapa besar dan megahnya mansion Shaka.

Gerbang mansionnya dibuka dengan remot. Di balik gerbang, Dhara langsung di sambut air mancur seperti di istana negara. Mau turun ke pintu depannya saja harus memutari air mancur dan juga taman yang tidak bisa disebut mini di depan rumah Shaka. Bangunannya sendiri tampak megah dengan model, mengusung gaya rumah bangsawan pada masa victoria, dengan pintu depan besar dan lantai dari marmer yang kalau dicongkel maling, malingnya bisa untung besar.

"Orang kaya memang beda," gumam Dhara pada diri sendiri seraya berbaring telentang, menatap langit-langit kamar barunya yang terasa tinggi dan jauh.

Shaka punya tiga asisten rumah tangga yang mengurus mansionnya, dua juru masak dan dua tukang kebun. Mereka semua dengan ramah menyapa Dhara, bahkan Dhara langsung menyukai seluruh pegawai Shaka. Rata-rata dari mereka sudah lumayan berumur dan sudah cukup lama bekerja di mansion ini. Dhara jadi bertanya-tanya bagaimana mereka bisa tahan bekerja dengan Shaka yang menyebalkan luar biasa itu.

Pintu kamar Dhara tiba-tiba terbuka, bersamaan dengan Shaka yang berdiri di ambang pintu. Pria itu menatap langsung ke arah Dhara yang sedang berbaring, tertegun sejenak. Dhara sedang berbaring telentang, mengenakan gaun tipis yang membuat tubuhnya bisa dilihat dari jarak Shaka berdiri. Dhara buru-buru duduk sambil menutup dadanya. Sialan, ia tidak pakai bra!

"Nggak bisa diketok dulu apa!" pekik Dhara seraya mengambil bantal dan menutupi dadanya. Siapa yang menginvasi privasi siapa sekarang?

Shaka masih tertegun di tempatnya. Ia berdeham sejenak dan menatap Dhara datar. "Keluar, kita makan malam."

Pria itu lalu menutup pintu tanpa meminta maaf atau bereaksi pada pekikan Dhara. Sepertinya yang harus belajar etika itu Shaka! Kenapa masuk kamar orang tanpa mengetuk pintu? Walau memang mansion ini miliknya, tapi ia kan tahu ada Dhara di dalam sini! Dhara mendumal seraya mengambil mantel kimono yang merupakan setelan dari gaun tidurnya dan mengenakannya.

Ia melangkah keluar dari kamarnya, berjalan menuju ruang makan di mana Shaka sudah menunggu. Pria itu masih mengenakan pakaian yang sama dengan tadi pagi, kecuali ia melepas jas dan dasinya, menyisakan kemeja dan celana kainnya saja. Dhara menatapnya sinis, duduk di hadapan Shaka seraya memasang wajah judes.

"Kamu udah beli semua keperluanmu?" Shaka menatap Dhara yang duduk dengan kasar di depannya.

Dhara menatap Shaka dengan mata berkilat. "Oh. Saya belanja banyak, cukup buat bangun satu rumah lagi."

Tadi siang, Dhara membelanjakan semua uang Shaka. Tidak semua, tapi Dhara tahu ia menghabiskan dalam jumlah cukup banyak. Pria itu harusnya terkejut melihat berapa pengeluarannya hari ini. Dhara tersenyum miring.

"Belanjaanmu masih belum bisa bangun satu rumah. Perlu tiga kali lipat lagi," balas Shaka membuat Dhara menatapnya dengan kening berkerut. "Bukankah perempuan kalau belanja pasti menghabiskan banyak? Kamu nggak belanja sebanyak itu."

Dhara berdecih. Ia kan konglomerat. Dhara lupa jika yang ia habiskan hari ini sama saja seperti uang lima puluh ribuan di saku celana Shaka. Dhara mengumpati Shaka dalam hati sambil mengangkat pisau dan garpunya.

Rented WifeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang