"Satu, dua, tahan senyum ... tiga!"
Sinar flash kamera serasa membuatakan mata Dhara. Ia memasang senyum paling manisnya, melingkarkan lengannya di leher Shaka. Sementara pria itu memeluk pinggang Dhara mesra, meghilangkan jarak di antara mereka dan membuat dada mereka saling bertemu. Dhara mulai berpikir untuk mencari bunga tujuh rupa dan segera mandi dengan bunga tujuh rupa itu setiba di rumah nanti.
Satu minggu setelah Shaka melarang Dhara mengunjungi Wulan. Shaka mengizinkan Dhara pergi keesokan harinya dengan ditemani asistennya yang lain, Dion. Seolah, ia takut Dhara melarikan diri entah ke mana. Dhara masih geram kalau disuruh mengingat soal hari itu, tetapi ia memutuskan untuk perlahan melupakannya. Tidak ada gunanya juga marah-marah karena Dhara tidak bisa menendang selangkangan Shaka.
"Oke, sekarang ganti pose ya. Calon istri boleh menghadap ke calon suami?"
Dhara mengangguk memasang senyum kaku dan berbalik menatap Shaka. Pria itu masuk memandanginya dengan tatapan tanpa arti. Dhara memberinya tatapan sinis, tetapi masih memasang senyum.
"Calon suami, boleh mukanya dideketin ke muka calon istri?"
Shaka melirik fotografer yang memotret mereka untuk foto pernikahan, lalu beralih pada Dhara dan mendekatkan wajahnya. Dhara bisa merasakan napasnya membelai wajahnya. Setengah mati, Dhara menahan ekspresinya supaya tak nampak jengkel dan menekan pikiran intrusif yang menyuruhnya membenturkan kepalanya ke tulang hidung Shaka.
"Bisa lebih dekat lagi?"
Dhara sangat ingin memprotes, tetapi ia tak melakukannya. Lebih baik diam supaya proses pemotretan segera selesai. Dhara bisa mendengar Shaka menggeram pelan, sebelum menarik pinggangnya supaya tubuhnya semakin menempel pada tubuh Shaka. Pijakan peninggi yang Dhara injak sedikit bergoyang karena gerakan Shaka, membuatnya mengeratkan pelukannya di sekitar leher Shaka secara spontan supaya tak jatuh.
"Jangan jatuhin saya," desis Dhara pelan yang hanya bisa didengar oleh Shaka.
Shaka hanya mendengkus, tetapi dengan hati-hati mendiamkan pijakan yang bergoyang dengan kakinya. Lalu, ia kembali mendekatkan wajahnya pada Dhara hingga hidung mereka bersentuhan dan mata mereka saling memandang.
"Yap, tahan posisinya, senyum! Satu, dua, tiga!"
Sekali lagi, lampu flash kamera menghujani mereka sebanyak tiga kali. Dhara melangkah sedikit menjauh, menyentuh lehernya yang mulai pegal karena mendongak terus kepada Shaka. Walau sudah pakai pijakan peninggi, Dhara masih harus mendongak untuk menatap Shaka. Ia menatap Shaka lagi penuh dendam. Tidak di rumah, tidak di pesta, tidak di mana-mana, Shaka selalu menyusahkannya!
"Sekarang kita ambil foto ciuman ya," kata fotografer lagi membuat Dhara menatapnya sejenak lalu beralih pada Shaka.
"Why I have to kiss you every time we're at public," gerutu Dhara pelan, tetapi memutuskan untuk mendekat pada Shaka.
Shaka hanya tersenyum miring, menatap Dhara yang menggerutu. "It's your duty."
Dhara menahan diri untuk tidak memutar bola matanya, kembali mendekat pada Shaka dengan tangan yang kembali melingkar di lehernya. Ia mendongak, memiringkan kepalanya dan memberi angle wajah terbaiknya seraya bersiap menunggu ciuman Shaka. Pria itu menunduk, menaikkan satu tangannya dari pinggang Dhara menuju tengkuknya dan mencium bibirnya. Dhara memejamkan mata, menerima ciuman Shaka sementara fotografer beberapa kali menyemangati mereka dan terus menyuruh keduanya mempertahankan ciuman mereka.
"Oke!"
Begitu mendengar kata itu, Dhara beranjak mundur dan melirik fotografer yang tersenyum lebar kepada keduanya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Rented Wife
General FictionShaka Alastair bersedia membayar Dhara untuk menjadi istrinya. Bayarannya tinggi, dengan kontrak yang jelas dan Dhara juga tak perlu melayani Shaka karena laki-laki itu terduga hompimpa alaihum gambreng alias penyuka sesama jenis. Masalahnya, Shaka...