13. I don't want it

147 47 3
                                    

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

















"Hah..."

Entah sudah ke berapa kalinya Sunoo menghela napas hari ini. Wajahnya terlihat kusut, kepalanya tertunduk dan pundak tegapnya merosot lesu. Jaehee yang duduk di sampingnya, menemaninya latihan piano pun terheran-heran terhadap semangat pemuda itu yang hilang. Sebenarnya bukan dirinya sendiri yang ingin menemaninya, tapi memang Sunoo lah yang memintanya dengan wajah memelas. Jaehee tidak tahu saja kalau Sunoo sengaja memintanya untuk menemaninya karena ia tak siap jika Sera yang duduk di sampingnya. Sudah pasti Sunoo akan sulit fokus dan debaran jantungnya akan sulit dikendalikan.

"Kau ini kenapa sih? Kenapa frustasi begitu? Ada masalah apa??" Jaehee bertanya tak sabar, mendesak Sunoo untuk mengatakannya karena ia tak tahan dengan dengusan pemuda itu yang selalu dihembuskan.

Sunoo memainkan kuku jarinya di atas paha, terlihat gugup seperti anak kecil yang diinterogasi oleh ibunya. Sejujurnya ia malu setengah mati ingin mengatakan hal ini pada Jaehee. Sudah pasti gadis itu akan menertawakannya habis-habisan karena sebelumnya ia sangat denial dan menyangkal ucapannya.

"Ucapanmu benar. Sebenarnya aku menyukai Sera."

Keheningan menyergap beberapa sekon. Hanya ada suara jarum jam yang bergerak dan deru angin dari pendingin ruangan. Atmosfer di sekitar mereka berubah drastis dalam hitungan detik. Jaehee tidak tertawa, tidak pula terlihat terkejut. Gadis itu menghela samar disertai senyum kecil. "Sudah kubilang kau menyukainya. Lalu apa masalahnya?"

"Itu membuatku tak nyaman. Aku ingin mengungkapkannya tapi aku takut hubungan kami jadi berubah. Sepertinya Sera juga tidak ingin lagi berurusan dengan cinta." Sunoo menjeda sesaat sebelum melanjutkan ke kalimat berikutnya. "Tak lama lagi aku juga akan mati. Percuma saja mengungkapkannya."

Jaehee terhenyak mendengarnya. Tubuhnya sedikit terdorong ke belakang atas keterkejutan yang menyentaknya. Ia hampir melupakan fakta tentang penyakit Sunoo saking terbiasanya melihat pemuda itu yang baik-baik saja. Seketika Jaehee merasa sesak, tak siap jika sewaktu-waktu kabar kepergian Sunoo terdengar di telinganya. Mungkin inilah alasan mengapa Sunoo menyembunyikan rapat-rapat tentang kondisinya karena ia juga tidak ingin orang-orang merasa tersiksa atas kesedihan mereka terhadap dirinya.

"Sunoo-ya, dengar." Jaehee mulai bersuara, berusaha memilih kata-kata yang tepat agar tak semakin menjatuhkan semangat pemuda itu. "Tidak ada salahnya mengungkapkan perasaanmu. Cinta juga tidak harus saling memiliki 'kan? Jika aku ada di posisi dirimu, aku akan memilih untuk mengungkapkannya sebelum aku mati karena aku tidak mau semakin tersiksa dengan perasaanku yang terus kupendam. Kau sendiri pun bilang kalau kau tak nyaman. Kau tak perlu memikirkan respon maupun jawaban Sera atau memikirkan bagaimana hubungan kalian nanti. Sera tidak akan menjauh darimu. Kau tahu kenapa?"

Sunoo menggeleng, dan senyum simpul Jaehee pun terbit. "Dia tidak akan menjauh karena kalian saling membutuhkan. Kalian saling terikat. Aku tahu ini sulit untukmu, tapi cobalah untuk mengungkapkannya."

Sedikit demi sedikit rasa gelisah yang menyelimuti hati Sunoo pun memudar. Bercerita pada Jaehee adalah keputusan bagus karena gadis itu selalu bisa menghiburnya dan mengembalikan secercah semangatnya. Selain Jungwon, Jaehee adalah orang yang paling ia percaya untuk berbagi keluh kesah. Jaehee selalu mengulurkan tangan, tak pernah keberatan untuk membantunya kala ia berada di titik kesulitan. Ia bersyukur memiliki teman sepertinya selain Jungwon. Jaehee selalu meresponnya dengan sangat baik.

"Haruskah aku melakukannya?" tanya Sunoo.

"Ya, harus. Tapi lebih baik di momen yang tepat."

"Apa maksudnya?"

Jaehee melirik piano di hadapan Sunoo, terlintas sesuatu di pikirannya hingga matanya berbinar-binar. Kedua maniknya kemudian beralih ke arah Sunoo, menatapnya antusias. "Katakan saja saat acara pensi nanti. Tepatnya setelah penampilanmu. Bagaimana?"

Sunoo menggaruk pipinya yang tak gatal, meringis kecil. "Uh.. bukankah itu terlalu cepat? Aku tidak siap."

"Kau harus siap! Mau sampai kapan kau memendamnya?? Waktumu tak banyak, Kim Sunoo."

"Baiklah, akan kulakukan." pungkas Sunoo akhirnya dengan dengusan pasrah. Ia melirik Jaehee penuh harap. "Kau akan membantuku kan?"

Gadis itu tersenyum tipis. "Tentu. Apapun untukmu."

~~~~

"Kak Wonwoo?"

Sosok yang tengah memasukkan kunci ke dalam lubang pintu pun menoleh, tersenyum pada si bungsu yang baru saja pulang sekolah. "Kenapa?"

"Tumben sekali kau sudah pulang." kata Sunoo, memasuki halaman sempit rumahnya dan berdiri di belakang sang kakak yang kesulitan membuka pintu karena lubang kunci yang sudah nyaris berkarat.

Wonwoo membiarkan kuncinya menggantung di luar usai pintu terbuka. Ia lekas masuk ke dalam rumah, diikuti Sunoo di belakangnya. Mulut Wonwoo gatal ingin mengatakan sesuatu yang sebenarnya sangat ingin ia katakan, tapi ia tahu bahwa Sunoo tidak akan menyukai apa yang ia sampaikan. Namun, bagaimana pun juga, Sunoo harus mendengarnya lebih dahulu.

"Sunoo-ya."

"Hm?" Sunoo tak repot-repot membalas, sibuk menaruh sepatunya ke dalam rak.

"Bisakah kita pikirkan lagi tentang operasimu?"

Gerakan tangan Sunoo yang tengah menata sepatu seketika berhenti. Ia terdiam membelakangi Wonwoo yang berdiri menatapnya penuh harap. Suasana di sekitar mereka berubah dalam satu jentikan jari. Terbukti dari perubahan aura si bungsu meski wajahnya tak terlihat.

"Kenapa kau selalu membahas itu?"

Wonwoo menelan ludah. Suara dingin Sunoo sudah cukup jelas menjawabnya bahwa ia tak mau lagi membahas tentang operasi paru-parunya. Tapi meski begitu, dia tak akan menyerah. Ini demi adiknya. "Aku tahu operasi tidak menjamin keselamatanmu. Aku tahu bagimu itu hanya sia-sia, tapi--"

"Lalu?" Sunoo menyela, berbalik menghadap Wonwoo dengan tatapan perit yang terlukis. "Kau tahu itu, tapi kenapa masih saja mengatakan hal yang sama? Kenapa kau begitu terobsesi dengan operasi itu??"

"Karena aku tidak mau cepat-cepat kehilanganmu!" sang kakak berseru dengan suara bergetar. Tenggorokannya terasa tercekat sesuatu. "Aku tidak ingin kehilangan adikku."

Sunoo tertawa hambar, tanpa suara. Tawa yang lolos penuh ketidakberdayaan. "Maksudmu aku harus tetap di sini dan membuatmu repot mencari uang?? Membuatmu harus mengorbankan waktu istirahatmu lagi demi bekerja apa saja??"

"Sunoo--"

"Hentikan, kak Wonwoo!" Sunoo berseru tegas, terdengar menggema di ruang tengah mereka. Kedua tangannya mengepal di sisi tubuh. "Aku tidak mau! Jangan paksa aku! Sudah cukup aku merepotkanmu sejauh ini. Kau tidak tahu betapa besarnya rasa bersalahku setiap kau pulang dengan wajah letih dan semua koyo yang menempel di tulang keringmu. Tolong hentikan..."

"Aku melakukan semua itu demi kau, Sunoo." balas Wonwoo, sehati-hati mungkin. Raut wajah sang adik pecah dalam kesedihan. "Aku sama sekali tak merasa direpotkan. Aku mau kau tetap di sisiku. Biayanya sudah ada, kau tak perlu khawatir. Kumohon, pikirkan sekali lagi."

Sunoo mendengus, sebisa mungkin mengendalikan emosinya. Wonwoo benar-benar bersikeras ingin membuatnya menjalani operasi itu. Tipikal kakak keras kepala demi adiknya. Sunoo berbalik, melangkah memasuki kamarnya usai mengatakan kalimat yang membuat si sulung menunduk kecewa.

"Aku tidak mau. Gunakan saja uang itu untuk biaya kuliah kak Winter. Kakak hanya melakukan hal yang sia-sia."

『√』Paper Plane | Kim SunooTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang