Kedua netra kelam tanpa binar cahaya itu, menyorot ke atas langit. Memindai gumpalan awan putih yang bergerak lamban mengikuti arah angin. Daun-daun pohon terus berguguran, bergiliran jatuh di dekat kaki gadis berwajah pucat itu yang duduk di sebuah bangku kayu dengan tiang infus yang berdiri tegak di sisinya. Kendati semilir angin dingin penghantar aroma musim gugur terasa menusuk, gadis itu tak bergeming. Ia terus memaku pandangannya pada langit, mencari hal kecil yang mungkin bisa mengembalikan setitik semangatnya yang telah mati. Ibunya pernah bilang, jika dia ingin terus melihat langit, dia harus bertahan. Kata-kata itulah yang terus menopangnya di masa sulit sekalipun, tapi beberapa hari belakangan ini, langit biru tak lagi memancarkan keindahan seperti biasanya. Hatinya tetap merasa hampa dan tidak ada rasa tenang yang singgah.
Ia terus bertanya-tanya, sampai kapan? Langit sudah terlihat membosankan. Apalagi yang harus ia pertahankan untuk tetap menghirup udara? Kalimat penyemangat yang hadir dari mulut keluarganya hanya menjadi gumpalan sampah yang tak berguna. Tidak lagi menyokong dirinya untuk tetap berdiri tegak. Semua kata-kata itu terasa hambar dan tak lagi membasuh kesuramannya. Ia kehilangan cara bagaimana untuk terus berjuang melawan deritanya yang telah kepalang lama bermain-main dengannya.
Pluk
Maniknya bergulir lambat ke arah bawah, mencari dari mana asalnya perasaan sesuatu yang ringan jatuh menyentuh kakinya yang beralaskan sandal bergambar kelinci. Ia menunduk, tangannya terulur meraih sebuah pesawat kertas berwarna kuning yang mendarat di antara daun yang jatuh. Gadis itu menatap pesawat kertas itu, lalu mencari siapakah sang pemiliknya. Ia sebenarnya ingin mengabaikan karena ini pasti milik anak-anak yang sering bermain di taman. Namun, saat netranya tak sengaja bergulir ke arah jam 11, sosok lelaki dengan balutan jaket tebal yang juga menatap ke arahnya pun menyita atensinya.
Gadis itu mengernyitkan kening, heran karena ia merasa lelaki itu terus menatapnya dari kejauhan. Wajahnya tak begitu jelas, tetapi saat ia menangkap kertas-kertas berwarna yang berserakan di depan meja lelaki itu, ia akhirnya menemukan siapa gerangan yang meluncurkan pesawat kertas kuning ini ke arahnya. Ia pun bangkit perlahan dan langkah gontainya mulai dirajut, menuju ke arah lelaki tersebut sambil mendorong tiang infusnya. Sebenarnya ia sangat malas harus mengembalikan sesuatu yang menurutnya tak berguna ini. Tetapi karena lelaki itu terus menatapnya seolah meminta untuk dikembalikan, maka dengan terpaksa ia menyudahi kegiatan meratapnya.
Langkah demi langkah terus diayunnya dan jarak keduanya semakin menipis, sampai akhirnya ketika gadis itu sudah berada tepat di depan si lelaki, kedua netra mereka saling bertemu dan betapa terkejutnya mereka. Gadis itu melotot kaget dengan api kemarahan yang mulai membakar dirinya, sedangkan lelaki itu terdiam membeku dengan mulut terkunci rapat. Gadis bersurai hitam legam itu seketika menyesali tindakannya yang memutuskan untuk mengembalikan pesawat kertasnya. Sorot matanya berubah menjadi ketidaksukaan yang begitu ketara, karena usai susah payah menyembunyikan diri agar sisi lemah dirinya tak tercium, nyatanya ia malah dipertemukan dengan lelaki itu.
"Kim Sunoo..." lirih gadis itu, meremat pakaian rumah sakit yang dikenakannya.
Sang lelaki bernama Sunoo itu tak segera bereaksi. Ia tercekat, tak menyangka dengan sosok di depannya sekarang. Tangannya yang berada di atas meja, terkepal kuat. Dan sama seperti gadis itu, Sunoo merasa persembunyiannya kali ini gagal total.
"Oh Sera?"
Paper Plane | Kim Sunoo
Start: 12 Agustus 2022
End: 6 Desember 2022Mohon maaf apabila ada kesamaan alur, latar, tokoh, kejadian. Semua itu murni ketidaksengajaan
KAMU SEDANG MEMBACA
『√』Paper Plane | Kim Sunoo
FanfictionLewat sebuah pesawat kertas yang jatuh di dekat kakinya, Oh Sera bertemu dengan Kim Sunoo, sang Ketua OSIS yang dulu sering mengganggunya. Sosok lelaki yang sempat menoreh banyak momen pahit di lembar hidup Sera dan keduanya justru dipertemukan deng...