08. Piano

199 56 5
                                    

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


















Langkah kaki Sunoo melaju tak bersemangat di sepanjang koridor sekolah yang lengang. Raut ceria dan kilat kebahagiaan yang biasa memenuhi aura di sekitarnya kini tak lagi terlihat. Air muka pemuda itu meredup serta sorot matanya yang kosong dan hampa. Ucapan dokter Kang kemarin malam membuat untaian asanya terputus. Pun dengan wajah sendu Wonwoo yang tak henti berlarian di kepalanya dan senyum kecut Winter kala menyambut mereka di rumah, membuat Sunoo hancur berkeping-keping. Di saat ia menemukan alasan untuk bertahan, nyatanya realita menamparnya begitu keras sampai membuat kedua kakinya tak mampu lagi berdiri tegak. Satu fakta yang harus ia telan bulat-bulat sendirian dan menerimanya dengan lapang dada kendati rasanya begitu menyesakkan. Sunoo kembali jatuh ke dasar palung terdalam tanpa secercah cahaya pun yang menuntunnya keluar dari sana.

Sunoo menghentikan langkahnya di depan pintu ruang musik dan tak sengaja melihat sosok Jay yang melangkah berlawanan arah hingga tatapan keduanya bertemu, tapi Jay langsung menggulirkan bola matanya ke arah lain tanpa berucap sepatah kata pun dan berlalu melewati Sunoo dengan acuh. Pemuda Kim itu terdiam menatap punggung Jay yang semakin mengecil di kejauhan.

Sejak keributannya di belakang sekolah saat itu, Jay tak pernah lagi mengusik Sera. Gadis itu bilang padanya kalau mantan kekasihnya itu tak lagi mengirim pesan atau menyapanya di sekolah. Jay juga tak lagi tersenyum apabila ia dan Sera saling berpapasan. Sunoo pikir, pemuda itu akan semakin menggila dan mungkin bisa saja beralih mengusik dirinya. Namun, ternyata Jay tak melakukan apapun bahkan di saat kedekatannya dengan Sera semakin terlihat. Sunoo sebenarnya curiga, tapi jauh di lubuk hatinya ia merasa lega karena Sera benar-benar sudah terbebas dari kejaran pemuda itu.

Sunoo melangkah masuk ke ruang musik. Gema sepatunya terdengar kala bertemu dengan lantai yang dingin. Ia memindai tiap sudut ruangan yang dipenuhi alat musik itu dan tembok yang sengaja dibuat kedap suara. Dari dulu, Sunoo sangat ingin memainkan musik di sini. Tapi ia merasa segan karena dirinya bukanlah bagian dari anak ekstra musik walaupun sebenarnya semua orang bisa bebas memasukinya. Pun kebetulan saat ini pikiran dan suasana hatinya tengah kacau, jadi tanpa ragu ia memutuskan untuk mampir sebentar.

Di depan sebuah piano, Sunoo mengambil posisi duduk. Ia menatap lamat tuts piano yang berjejer di hadapannya, menanti untuk segera dimainkan tapi ia hanya terdiam tanpa pergerakan apapun. Sunoo ingat bahwa terakhir kali ia memainkan piano adalah saat ia berada di sekolah dasar sebelum ia meninggalkannya begitu saja setelah kedua orang tuanya meninggal. Sunoo sebenarnya sangat menghindari alat musik yang satu ini karena akan mengingatkannya pada mereka. Selama ini, ia bisa memainkannya karena berkat dukungan orang tuanya dan Sunoo memainkannya hanya untuk mereka. Memutuskan untuk kembali bermain piano sama saja dengan membuka kembali luka lamanya.

"Paru-parumu sudah sangat rusak. Menjalani operasi tak bisa membuatmu sembuh, dalam artian hanya akan memperlambat kematianmu. Maaf atas kabar buruk ini."

Kalimat dokter Kang kembali terngiang di telinganya, membuat kedua tangan pemuda itu meremat ujung sweaternya kuat-kuat. Ia menggigit bibir, menahan rasa sesak yang menghimpit dadanya hingga tenggorokannya tercekat. Sunoo memang menolak untuk dioperasi, tapi setidaknya ia merasa memiliki harapan saat mendengar bahwa ia bisa kembali sehat setelah menjalani operasi tersebut. Dia menolaknya karena tak punya alasan kuat mengapa ia harus melakukannya. Tapi saat ia telah menemukan alasannya, sang dokter justru memberinya kabar buruk yang semakin menenggelamkannya dalam ketidakberdayaan.

『√』Paper Plane | Kim SunooTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang