9. Bebegig Sawah

43 6 2
                                    

"Berdiri tegak, gagah, berani sampai gak ada gangguan yang berani menyenggol. Bahkan burungpun gak berani lewat di atas kepalanya. Itulah Pak Shaidan."— Nanda

•Happy reading•

Hari senin yang bagi kebanyakan orang dianggap horror dimulai. Upacara yang merupakan kewajiban dilaksanakan.

"Hiduplah Indonesia Raya..."

Pengibaran bendera diiringi lagu 'Indonesia Raya' telah selesai, berlanjut dengan amanat pembina upacara.

"Shinta, pusing..," bisik seorang anak perempuan yang merupakan anggota paduan suara.

"Ke belakang aja," jawab Shinta.

Perempuan yang mengeluh pusing itu adalah Dewita, gebetan Fano. Ia masih berusaha bertahan, keringat dingin mulai keluar, pandangannya mulai kabur. Sepertinya gejala darah rendahnya kambuh.

Dewita sudah tidak kuat. Daripada dirinya pingsan ia memilih ke belakang barisan dan ditolong oleh salah satu anak PMR untuk dibawa ke UKS.

Setelah upacara selesai dilaksanakan, semua murid kembali ke kelas. Dan tepat di kelas 7-C perghibahan dimulai selagi menunggu guru datang mengajar.

"Bon, mata kamu ngerasa sakit gak sih?" Shinta menyenggol siku temannya yang sedang tertidur di meja.

"Gak tuh, emang kenapa harus sakit?"

"Sakit karena merasa silau dengan pesona Pak Shaidan saat upacara tadi. Berdiri gagah berani tanpa ada gangguan yang berani menyenggol," Shinta menjelaskan dengan binar matanya yang mengarah ke luar kelas. Berharap Pak Shaidan guru yang dianggap tampan seantero sekolah itu cepat datang.

"Kamu butuh disadarin lagi? Lagian ya Pak Shaidan tuh tipe idealnya Bae Suzy artis Korea, modelan kayak kamu mah skip."

Perkataan Boni membuat Shinta mendelikkan mata malas. Terlalu nusuk dan terjungkal, tapi apakah Shinta akan sadar dan menyerah?

Tentu saja tidak.

"Nan, emang Pak Shaidan secakep itu?" Harsa bertanya setelah mendengar perghibahan meja sebelah.

"Gak lah! Masih juga gantengan saya," Nanda menjawab dengan percaya diri.

"Idih! Masih juga gantengan Dilan."

"Ya ini di depan kamu siapa? Ganteng, kembarannya Dilan yang kesekian," Nanda menaik turunkan alisnya tebar pesona.

"Dilan apaan kamu? Dilan-da musibah," Harsa terkekeh atas jawaban dirinya sendiri. "Emang pesona Pak Shaidan pas upacara tadi apa sih? Saya mah malah ngeri. Kita ditempatin di depan, tegang tau gak liat mukanya. Pengen ketawa tapi takut diblacklist dari kelas."

Nanda mengangguk setuju. Tadi adalah awal keduanya ditempatkan di barisan depan. Pak Shaidan bilang agar melatih jiwa tertib dan taat karena keduanya suka mengadakan gosip jika di barisan belakang. Tapi tadi merupakan hal yang menyiksa keduanya, mereka harus mati-matian menahan tawa dan mulut yang gatal untuk memberitakan berita terkini dan terbaru.

"Menurut saya tadi Pak Shaidan kayak bebegig sawah," jawab Nanda enteng. "Pak Shaidan berdiri tegak, gagah, berani sampai gak ada gangguan yang berani menyenggol. Bahkan kayaknya burung aja gak berani lewat di atas kepalanya."

Di balik perghibahan itu, Fano duduk dengan tenang sembari menatap keluar kelas. Memikirkan masa depan alias neng gebetan yang belum bisa dianggap lebih dari temen.

"Muka Fano asem banget, kayak jeruk yang dijual di pasar," Harsa menatap temannya yang dalam fase sadboy.

"Ya kan khawatir sama neneng cantik jelita Dewita yang cantiknya dari khayangan."

7 ProblematicsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang