Chapter 4

2.9K 205 3
                                    

241022bta

Happy Reading 💗
.
.
.
.
.

   Xazh terus berjalan menyusuri hutan dengan arah yang sama dengan jalan besar yang dituju kereta yang ia tumpangi sebelumnya. Perut nya pun juga sudah terisi penuh dengan daging kelinci yang ia tangkap dihutan, walau di bakar seadanya daging tersebut cukup nikmat saat dimakan saat perut lapar.

   Jika dugaan nya benar, diujung hutan ini pasti terdapat sebuah pemukiman warga. Jadi tujuan nya selanjutnya adalah desa tersebut. Tak membutuhkan waktu lama, Xazh sudah dapat melihat beberapa rumah warga yang berada di sebrang sungai. Xazh mengeratkan pengikat jubahnya lalu memakai tudung jubah tersebut hingga hanya terlihat ujung dagunya saja.

   Xazh kemudian berjalan kearah jembatan kayu yang berada di jalan setapak. Sambil mengamati keadaan sekitar. Yah, walau agak susah karna tudung jubahnya yang menghambat jangkauan penglihatan, Xazh terus berjalan ke arah desa yang cukup ramai tersebut.

   Xazh awalnya mengira akan banyak orang yang memperhatikan nya namun berbanding terbalik dengan kenyataan nya. Nyatanya penduduk desa tersebut sama sekali tidak peduli dengan keberadaan Xazh. Mereka hanya melirik sebentar lalu kembali melakukan pekerjaan, begitupun dengan anak-anak desa tersebut ada yang sibuk bermain ada juga yang sedang berlatih memanah ataupun melemparkan tombak.

   Dilihat dari gaya berpakaian penduduk desa, Xazh sangat yakin mereka adalah suku Pemburu.

   "Heh, anak yang ditinggal lagi." Ujar seorang ibu-ibu yang membuat perhatian Xazh teralihkan. Xazh menajamkan pendengaran untuk mendengarkan pembicaraan tersebut.

   "Ya, akhir-akhir ini jumlah mereka semakin banyak. Itu mungkin karena ujian Academy Artheas yang akan di adakan dua bulan lagi" ujar lawan bicara nya menyahuti.

   "Andai anak-anak kita juga bisa masuk Acade--"

   "Syuttt!!!. Jangan bicara sembarangan, jika anak itu dengar kau bisa di adukan ke orang tua nya yang bangsawan itu" ujar lawan bicaranya yang tampak cemas hingga memelankan suara nya. Namun walau begitu Xazh masih dapat mendengarnya dengan jelas.

   Mendengar dari percakapan ibu-ibu tersebut, dapat dipastikan ini bukan pertama kalinya mereka melihat seorang anak yang berjalan sendirian. Anak- anak yang mereka maksud mungkin saja adalah anak yang sengaja ditinggalkan dihutan oleh orang tuanya untuk latihan sebagai persiapan ujian Academy Artheas. Mengabaikan ibu-ibu penggosip tersebut, Xazh terus berjalan maju namun tak ada lagi informasi yang ia peroleh.

   Xazh akhirnya berjalan menghampiri seorang pria paruh baya yang tengah asik meraut kayu yang akan di jadikan sebagai anak panah.

   "Permisi tuan" ucap Xazh dengan suara yang masih terdengar kekanak-kanakan.

   "Seorang Nona?" Ujar pria itu dengan nada terkejut. Mungkin saja ia tak mengira orang yang berjalan didalam jubah tersebut adalah seorang gadis.

   "Hehe, jarang sekali ada seorang nona kecil yang ditinggalkan dihutan" ujar lelaki paruh baya tersebut penuh minat. Xazh hanya diam, sama sekali tak menjawab ocehan pria paruh baya tersebut.

   "Ada yang bisa saya bantu nona kecil?" Ucap pria paruh baya tersebut yang akhirnya bertanya.

   "Ya. Bolehkah saya menanyakan sesuatu Tuan emmm...."

   "Panggil saja Paman Osh."

   "Eh?"Bukankah itu terlalu akrab untuk seseorang yang baru bertemu. Xazh tidak mengutarakan isi hatinya dengan lantang namun sepertinya pria paruh baya itu mengerti dengan apa yang difikirkan oleh Xazh.

   "Begini nona kecil, tidak nyaman rasanya seseorang memanggil saya dengan sebutan Tuan. Lagipula seluruh penduduk desa juga memanggil saya Paman Osh. Jadi santai saja, oke!" Ujar Paman Osh menjelaskan.

Xazh Amorrete Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang