Hari-hari berlalu begitu saja, hingga sampailah pada detik di hari ke-10.
Semua ini berakhir dengan sia-sia, karena pada hari di mana mereka menemukan fakta yang tampaknya sulit untuk ditelan, hari berlalu tanpa adanya usaha untuk berubah.
Masing-masing anggota Osis tampak sudah menyerah dan memilih untuk menunggu antrian, di mana nyawa mereka akan terbakar dalam kematian.
Selama ini mereka hanya bangun, makan, berdiam diri tanpa interaksi, lalu kembali tidur saat malam datang. Itu terus berlalu dan tidak ada yang bisa menghentikan kegiatan yang sia-sia itu.
Seperti pagi ini, anggota Osis masih berdiam diri, walau sebenarnya sudah terbangun dari tidurnya. Mereka hanya berbaring dengan mata tertutup dan membiarkan matahari semakin naik.
Hari ini mungkin mereka akan melewatkan sarapan dan makan siang. Semakin lama, semangat untuk sekadar menelan makanan juga sudah hilang.
Dan Aneth, yang memang baru bangun tidur, kini mengerjapkan matanya. Ia terbangun dan duduk dengan rambut yang berantakan.
"Aakh!" rintihan mengalun dari bibir Aneth saat kakinya tidak sengaja tersenggol benda lain.
Kenapa kakinya terasa sangat sakit? Beberapa bagian wajahnya juga sakit. Aneth merasa ada yang aneh, padahal kemarin malam tidak terasa ada yang terluka atau sakit.
"Kapan ya?" gumamnya sembari menyentuh kakinya yang terluka dan mengeluarkan darah.
Artha, yang juga baru bangun, kini terduduk saat mendengar suara rintihan Aneth. Dengan matanya yang belum sepenuhnya terbuka, ia meraih kaki Aneth.
"Kenapa bisa luka?" tanya Artha yang belum mengumpulkan segenap nyawanya.
"Gak tahu."
Lantas Artha mulai menajamkan matanya untuk melihat lebih rinci. Beberapa detik kemudian, kerutan datang di dahi Artha, seolah ia merasakan kecurigaan entah datang dari mana. Ia yang semula menunduk untuk melihat kaki Aneth kini mengangkat wajahnya untuk menatap Aneth.
Tangan Artha terulur, menyentuh sudut mata kiri dan sudut bibir kanan Aneth yang terluka.
Wajahnya yang semula tampak bingung kini menggelap dengan tatapan tajam. Tak berlama-lama, Artha berdiri dari duduknya dan melangkah ke arah lemari Osis untuk mengambil P3K. Lalu kembali setelah mendapatkan apa yang diinginkannya.
Sedangkan Aneth masih berdiam diri dan hanya menatap Artha yang kini mulai mengobati luka di kakinya. Dalam keterdiamannya, Aneth sungguh merasa takut melihat perubahan Artha.
Ah, sepertinya Artha akan mogok berbicara mulai sekarang.
Namun Aneth tak kunjung membuka obrolan, walau hanya sekadar menanyakan apakah Artha sedang marah padanya. Ia hanya memperhatikan Artha yang kini memasang perban pada kakinya.
Setelah selesai, Artha mengalihkan pandangannya dan menatap Aneth. Tangannya kini terulur untuk mengobati luka di wajah Aneth.
Dengan jarak yang sempit, Aneth bisa merasakan hembusan napas Artha. Ini membuatnya kembali mengantuk, mengingat beberapa hari ini ia sulit tertidur karena kondisi anggota Osis yang tak segera stabil.
"Aneth," panggil Artha, meski laki-laki itu masih memusatkan seluruh perhatiannya pada luka di wajah Aneth.
Ternyata tebakan Aneth salah. Artha sepertinya sudah sangat marah, hingga laki-laki itu tetap berbicara padanya walau dalam keadaan marah—karena biasanya Artha hanya diam saat marah.
"Ya?"
Beberapa detik hening, Artha tak langsung mengatakan tujuannya memanggil Aneth. Dan selama beberapa detik itu, Aneth merasakan ketegangan yang luar biasa.

KAMU SEDANG MEMBACA
12 Titik Balik (END)
Teen Fiction(Sudah revisi) Aneth Tisha Andintala, seorang anggota Osis yang terjebak di dalam gerbang sekolah yang selama ini ia bela mati-matian bersama 11 anggota lain. Aneth bertanya-tanya apakah solidaritas, kekompakan dan semua hal bisa bertahan bahkan ny...