Bagian 17 : Tebak?

97 9 0
                                    

Mata Aneth melebar dengan pupil yang kian mengecil. Kepalanya bergerak cepat menoleh ke arah Artha, hingga membuat laki-laki yang tengah makan dan menyiapkan suapan untuk Aneth kini menatapnya bingung.

"Apa isinya?" tanya Artha penasaran.

Aneth memberikan gulungan kain itu ke arah Artha. Dengan was-was, Artha meletakkan sendok untuk menerima kain dari tangan Aneth.

"Di antara kita semua," gumam Aneth.

"Ada mereka?" Artha meremas kain itu di tangan kanannya, lalu menatap Aneth dengan tatapan terkejut.

Pantas saja selama ini semuanya terjadi sesuai dengan rencana para petinggi itu. Ternyata rencana dan pergerakan dari dalam anggota saja sudah terbuka secara diam-diam. Bahkan tanpa 'mata', semuanya bisa terlihat jelas melalui tangan dan kaki yang sudah tertanam di antara 11 anggota Osis yang tersisa.

"Siapa?" gumam Aneth, memutar otak untuk menebak kemungkinan yang terjadi.

Di antara 11 anggota Osis, satu-satunya yang memiliki gerak-gerik mencurigakan adalah Jian. Wakil ketua Osis yang selama ini Aneth anggap sebagai sosok yang tidak berguna di tim.

Dengan antusias, tangan kanan Aneth terangkat dan memukul meja dengan telapak tangannya, "Gue tau orangnya!" ucapnya dengan percaya diri.

"Jangan salah tebak, ini bisa berimbas ke Osis." peringat Artha yang entah bagaimana seperti bisa menebak pikiran Aneth.

"Gak, kali ini gue yakin orangnya! Dia—"

"Bukan gue."

Belum selesai Aneth mengutarakan tebakannya, orang yang namanya hampir disebut kini berjalan menuju meja kantin setelah menyela ucapan Aneth.

Jian semakin mendekat ke arah mereka berdua dengan membawa senter yang ia dapatkan dari ruang Osis. "Gue tau gue aneh, tapi itu bukan gue." imbuhnya seraya meraih sendok milik Artha untuk disuapkan ke mulutnya sendiri.

Aneth mengernyit bingung. Memang Jian tahu apa mengenai yang sedang dibahas sekarang? Yang membaca isi kain itu hanya Artha dan dirinya. "Apaan, sih? Gak ada yang namanya maling ngaku."

"Lah gue bukan maling, makanya gue ngaku duluan sebelum lo fitnah." Jian mengeluarkan kain merah lain dari saku celananya. "Lo kira cuma lo yang dapet red?" Ia meletakkan kain itu di meja.

Dengan sigap, Aneth membuka red milik Jian, yang isinya sama persis seperti red yang tadi ditemukannya. "Ha? Kok ada dua?" gumam Aneth bingung.

"Ini sengaja." Artha menyela setelah melihat kedua kain yang kini diletakkan bersampingan. "Dari awal ini sengaja dibikin lebih dari satu buat pengecoh. Jadi percuma juga kalau Aneth atau Jian sengaja mau nyimpen ini sendiri, karena tujuan red ini biar anggota saling curiga satu sama lain," jelas Artha.

Keduanya setuju dengan penjelasan Artha. Namun Jian maupun Aneth belum bisa memastikan ada berapa tepatnya kain ini. Bisa jadi ada lebih dari yang sudah ditemukan untuk membuat anggota semakin terpecah.

Menit berikutnya, Aneth baru tersadar. Ia kembali menatap Jian dengan tajam, "Tetep aja, red yang lo temuin nggak bisa ngebuktiin kalo lo bukan pengkhianat!" hardiknya, yang tak bisa mempercayai Jian begitu saja.

"Kalo gitu sama. Dengan cara apa lo ngebuktiin kalo lo bukan pengkhianat? Dari awal kita masuk sekolah ini, lo yang selalu bisa mecahin red itu. Atau jangan-jangan dari awal lo dapet bantuan dari pusat, Neth?" Jian tak mau kalah, ia melemparkan tuduhan yang sama.

Lantas hal itu membuat amarah Aneth naik. "Sialan, lo kira karena siapa gue harus muter otak buat nyelesain teka-teki ini? Gue bukan lo yang gerak sendirian demi nyawa lo sendiri, Jian!" murka Aneth.

12 Titik Balik (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang