Rasyid masih memilih tiduran di sofa. Setelah kemarin mendengar mpok Nina mengundurkan diri, Rasyid galau. Dia tidak tau harus gimana, harus apa. Masa iya Rasyid juga yang urus rumah sendiri? Kurang berwibawa banget kalau sampe terdengar pejabat RT lainnya. Masa RT tidak bisa bayar ART? Ah sialan. Kenapa mpok Nina pake resign segala sih?.
"Assalamu'alaikum" Rasyid masih diam dengan posisinya yang tiduran di sofa, matanya menatap ke arah televisi. Entahlah, sepertinya ia hanya sedang bingung saja bukan sedang menikmati acara televisi. "Kenapa dia, mah?"
"Udah dua jam dia kayak gitu, mama aja pusing." Wahyu duduk, ia menggeplak betis Rasyid. Dan sama sekali tidak ada respon. "Minta emak Iroh"
"Kenapa minta mak Iroh?" Wahyu duduk di samping mama Iren yang masih setia membujuk Rasyid.
"Yang bantuin bersihin rumahnya, resign."
"Katanya di sayang warga setempat." Ejekan ini biasanya Rasyid langsung menyela. Namun, kali ini Rasyid memilih tetap diam. "Syid"
"Terserah kamu deh mau di apain tuh adiknya. Mama pusing." Kata mama yang langsung merebut remot dari tangan Rasyid. Wahyu, semenjak kepergian papa, ia memilih untuk tinggal bersama ibu sambungnya.
"Mas, minta tolong boleh?" Rasyid masih mogok ngomong, ia masih tetap tiduran dengan wajah melas. "Temui anak rekan kerja, mas."
Tak lama Rasyid duduk tegak, ia menatap mama yang kini tersenyum penuh makna. Ucapan kode, artinya perjodohan. Hah! Jaman apa main jodoh-jodohan. Di kata jaman Rasyid baru lahir?
"Maaf mas, rumah gue masih kotor perlu gue bersihkan." Lalu Rasyid pergi ke atas, bukan keluar yang katanya rumah belum di bersihkan. Pintar sekali selalu menghindar. Rasyid kembali berbaring di kasur, ia menatap langit-langit kamar. Kalau di pikir-pikir, kenapa Rasyid harus pusing karena perkara rumah? Ia bahkan setiap hari tidak ada kerjaan? Lalu untuk apa? Bukankah waktunya sangat banyak untuk sekedar membersihkan rumah? Tidak salah memiliki otak pintar.
"ABANG SI JELITA MATI!!!" Tentu saja Rasyid terbangun langsung duduk, nafasnya memburu, keringat mulai bercucuran. Barusan kabar apa? Lalu Rasyid melihat ke arah samping. Kenapa jadi rame? Ada Sasi, Irsyad, mama, Wahyu beserta istrinya.
"Sas, mau gue mutilasi? Bisa kali bangunin gue kagak pake urat."
"Segala macam cara udah di lakuin, makanya gue teriak. Cuma nyebut nama Jelita, pasti bangun."
"Serah lo." Lalu Rasyid melihat ke ujung kaki merasa ada sesuatu. Kala ia membuka selimut, terdapat Elano anak dari pasangan yang julit. Siapa lagi? Tentu saja Sasi dan Irsyad. "Pada ngapain di sini?"
"Jujur sama mama, bang." Mata Rasyid berkedip beberapa kali, ia terlihat lucu bak bocah yang sedang melakukan kesalahan besar. Mama kenapa langsung main interogasi aja. "Kenapa kemarin kamu ada di kantor polisi?."
Sialan!! Siapa yang ngadu? Kayara? Tidak mungkin, tapi mungkin saja. Apalagi Kayara sahabat Sasi, yang notabene setiap hari bertemu. Atau Kikan, nah bisa saja tuh adik tiri ngadu sama Wahyu. Shila? Mana mungkin, tapi bisa aja.
"Rasyid." Panggil Wahyu yang kini menatapnya serius. Mampus, sidang di mulai. Harusnya Rasyid tidak perlu pulang ke rumah. Kenapa Rasyid sangat bodoh!? Harus apa ia? Tidak mungkin mengatakan, kalau Rasyid menjadi tersangka pembunuhan.
"Kalian ngomong apa, sih? Permisi dong babang Irsyad, gue mau nyari makan." Berniat mau turun dari kasur, akan tetapi dorongan di bahu kini membuat Rasyid duduk kembali. Mana yang dorong mama, bikin Rasyid tambah bingung aja. Irsyad juga, bukannya minggir malah tetap berdiri. Awas aja, tunggu pembalasan Rasyid.
"Kata Shila, lo kemarin di kantor polisi jadi tahanan." Ujar Sasi yang mengambil anaknya dari pangkuan Rasyid. Shila emang tidak bisa menjaga rahasia. Kalau sudah begini, mau gimana? Jelas saja harus cerita.
KAMU SEDANG MEMBACA
RASYID
HumorDi tengah gempuran orang-orang yang banyak memilih menikah muda, Rasyid masih asik jadi RT. Masih senang main sama kucing yang di beri nama Jesica. Kenapa belum menikah? Baginya, belum waktunya untuk bertemu dengan orang yang tepat. Entah bagaima...