Rasyid sudah tiba di kantor polisi, ia berusaha untuk terlihat santai. Tadi Ogi bilang, orangnya udah ke tangkap. Mana si Ogi polisi yang super nyebelin lagi.
"Syid."
"Oh, hallo." Rasyid bersalaman, tersenyum ke arah atasan Ogi. Gini jadi Rasyid yang selalu terkenal. "Gimana kabarnya, pak?"
"Alhamdulillah sehat. Kamu ngapain di sini?"
"Ketemu Ogi."
"Masuk aja."
"Makasih pak," Rasyid pamit lalu masuk ke dalam. Bapak-bapak tadi adalah polisi yang dulu menangani kasus Sasi jualan anak ayam warna warni di depan kantor polisi. Untung saja bapak polisinya baik, coba kalau galak. Tapi, bapak tadi masih ingat saja sama muka Rasyid. Mungkin karena Rasyid masih ganteng.
"Faad?"
"Bang erte." Rasyid mendapatkan pelukan dari seorang pelaku, yang jelas saja Rasyid mengenalnya dengan baik. "Abang, bukan Faad pelakunya."
"Faad duduk dulu, abang mau ngomong sama polisinya." Rasyid duduk di hadapan Ogi yang terlihat serius. Wah, kalau sudah begini lain cerita. Bentar, tarik nafas, buang nafas. Bukan apa-apa, Rasyid takutnya malah gugup kalau ngadepin sejenis Ogi yang serius. "Maaf Pak, bisa tolong jelaskan?"
"Dih, so profesional banget" Baiklah seharusnya Rasyid menyadari kalau sahabatnya yang satu ini memang agak tidak jelas. Tapi, Gibran juga sama sih. Ngomong-ngomong soal Gibran, di mana orang itu.
"Gi, gue kenal banget Faad. Dia nggak mungkin sampe tega celakai Johan. Lo yang benar aja sih, kalau tangkep. Main tahan aja."
"Yang bawa dia ke sini, Lurah lo, bego." Rasyid meringis kala melihat wajah Ogi. Mampus deh, ini lawan Rasyid si Ogi yang tau selak beluk Rasyid. "Gue menjalankan pekerjaan gue sesuai perintah atasan, yaitu interogasi."
"Tapi kagak ada bukti."
"Kata siapa Rasyid?" Lalu Rasyid menoleh ke arah Faad yang kini menunduk. "Sidik jari dia ada di pisau, sama ada di luka Johan. Dan itu sudah termasuk bukti."
"Bukti bukan sembarangan bukti."
"Cakep"
"Gue lagi kagak mantun setan!!" Anggota polisi lainnya yang tengah duduk di meja kerja, tertawa mendengar perdebatan dua manusia itu. "Bebasin Faad."
"Kagak bisa Rasyid yang kini jadi erte"
"Di bisa-in aja."
"Mata lo!!"
"Mata gue kenapa?"
"Capek gue lama-lama, Syid." Ogi menghela nafas berat. Gini amat punya sahabat semacam Rasyid. "Faad, kamu bisa jelasin kejadiannya?"
"Bang erte," Rasyid menatap Faad, seolah itu adalah persetujuannya. Ini Lurah emang cari perkara aja. Mana yang kena, warganya.
"Jelasin aja, jangan takut kalau kamu nggak salah. Kamu harus memperjuangkan nama baik sama harga diri kamu." Faad mengangguk mendengar suport dari RT di kampungnya. Sedangkan Rasyid mencari kursi untuk mendengar penjelasan Faad.
"Jam enam pagi, kayak biasa Faad baru pulang dari mesjid. Pas Faad lewat gang dekat rumah pak Mulyo, tukang bubur tuh." Rasyid mengangguk, sedangkan Ogi menatap Rasyid prihatin. "Faad lihat Johan lari-lari mau beli bubur, tapi di belakangnya di kejar tiga orang."
"Kamu masih ingat wajahnya?" Tanya Rasyid dengan pelan.
"Masih bang."
"Terus habis itu, Johan gimana?"
"Johan lari ketakutan, terus minta tolong sama Faad. Nggak tau kenapa masalahnya, tapi tiga orang itu minta memori gitu, pokoknya." Rasyid ingat, memori yang ada di dirinya menjadi rebutan tiga orang tersebut. "Kata Johan, dia nemu. Johan merasa itu udah milik Johan. Buat hape Johan yang nggak ada memorinya."
KAMU SEDANG MEMBACA
RASYID
HumorDi tengah gempuran orang-orang yang banyak memilih menikah muda, Rasyid masih asik jadi RT. Masih senang main sama kucing yang di beri nama Jesica. Kenapa belum menikah? Baginya, belum waktunya untuk bertemu dengan orang yang tepat. Entah bagaima...