DUA

869 124 39
                                    

Kabar soal Rasyid yang masuk ke Rumah Sakit terdengar ke arah perkampungan sebelah komplek rumahnya. Entah siapa yang memberitahukan, para ibu-ibu menjenguknya.
Rasyid si pengangguran namun kesayangan para ibu-ibu di kampung sebelah. Entah bagaimana ceritanya, Rasyid menggantikan jabatan Shila menjadi RT. Sasi yang kampenye, Rasyid yang menang. Dunia memang sekejam itu. Dan untungnya para ibu-ibu sudah pulang sejam yang lalu.

"Kamu itu baru di tinggal berapa menit doang sama Syarief, udah begini. Gimana kalau Syarief nikah, bisa mati kamu."

"Mah, Syarief lebih muda dari abang."

"Sadar juga kamu." Rasyid meringis pelan. Ia hanya terbentur lantai, dan memang seharusnya tadi mendengar kata Edo untuk tidak pergi ke rumah sakit. Akhirnya apa? Ya begini nasib bujang yang akan selalu mendapatkan ceramah dari sang ibu.

"Mah, parah emang bang Rasyid. Udah tau jadi erte, kelayapan aja. Emang paling cocok sih erte untuk orang pengangguran." Nah sudah tau pastinya suara yang ingin Rasyid masukin cimol atau mungkin cilok supaya diem. Kalau melihat Rasyid menderita, selalu saja menista. Siapa lagi kalau bukan adik sepupunya, tentu saja Sasi. Memang siapa yang berani menghina Rasyid? Jelas hanya Sasi.

"Diem lo mulut nyindir. Kerja sono, kagak bakal kebeli susu nanti."

"Mohon maaf bang Rasyid si jomblo menahun, gue anak orang kaya. Suami gue kaya, kakek suami gue kaya, kalau gue jangan di tanya."

"Masih saja sombong." Seorang Dokter masuk dengan gaya judesnya. Sasi, menatapnya kesal. Merusak kesenangan Sasi saja. "Kebentur lantai doang, masuk rumah sakit. Bayi lo?!"

"Kayara? Woah Kayara akhirnya lo bangkit juga. Yum, kasian gue. Lo kagak tau aja sakitnya kepala gue." Rasyid menatap Kayara yang kini berjalan ke arah sampingnya. Ada sedikit yang beda dari Kayara saat terakhir mereka bertemu. Entah mengapa Rasyid merasa asing melihat sikap Kayara yang sekarang.

"Yum? Sejak kapan lo manggil Dokter Kayara seenaknya?" Tanya Sasi heran. Lalu Sasi menatap Kayara yang acuh akan dengan panggilan Rasyid.

"Dih, bebas lah. Yang punya nama aja kagak keberatan. Yakan Kayara Ayumi si mulut judes."

"Terserah lo, abang Rasyid si sombong dengan mulut pedesnya." Rasyid menatap Kayara kesal. Sepertinya ia akan memiliki musuh selain Sasi.

"Betewe, lo udah kenyang bertelur di kota orang?" Kayara hanya menghela nafas berat. Ia datang ke ruang rawat untuk memeriksa keadaan pasien. Tanpa di sangka pasien yang akan Kayara cek, ternyata pria yang tidak pernah berubah dengan kelakuan anehnya.

"Gue beranak bukan bertelur." Ujar Kayara yang mendapatkan tawa pecah dari Sasi dan mamanya. "Kepala lo masih aman."

"Alhamdulillah kalau aman, gue masih ganteng."

"Syid."

"Gue harap lo kagak bikin gue kesel kalau ngomong, Yum."

"Gue mau cek kondisi lo."

"Oke." Rasyid berbaring, ia menatap wajah Kayara dengan seksama. Sialan. Rasyid masih ingat gombalan Kayara yang membuatnya jadi salah tingkah. Rasyid kira, ia tidak akan bertemu lagi dengan sosok Kayara. Nyatanya? Sekarang Kayara berdiri di hadapannya. "Anak lo, udah berapa Yum?"

"Pertanyaan yang cocok buat lo." Sasi terkikik geli. Mampus sudah Rasyid bertemu dengan Kayara. Sama-sama julit. "Gue masih muda."

"Periksa gue cepetan." Rasyid memalingkan wajahnya dari Kayara, detak jantungnya tak karuan. Apa maksudnya? Kenapa ia merasa lega dengan ucapan Kayara. Ini tidak benar, Rasyid harus segera keluar dari rumah sakit. Kalau tidak, tiap hari ia bisa ketemu Kayara terus.

RASYIDTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang