Setiap tetesan air yang terjatuh bertemu bumi, satu karma dalam hidupku menghilang. Selamat tinggal dunia.
OoO
Selama satu jam aku membeku di tempat, selama itu pula aku sendirian. Tak lagi ada Jeko yang berbisik memberitahu, tak ada Jeko yang berteriak memohon, tak ada Jeko yang menaruh harap besar untuk dimaafkan.
Diselimuti gulungan hitam, aku seolah berada dalam lubang yang benar-benar akan menenggelamkan. Mungkin sebentar lagi aku terbenam lalu menghilang.
Beranjak dari sana, berbekal baju lusuh kemarin, bercak darah yang membekas aku melangkah sempoyongan, kepala berat bahkan masih terlilit perban, tetesan darah dari infus yang kucabut paksa, aku terus mengayun langkah meski di tatap oleh mata-mata penasaran.
"Tante," lengannya kucengkram erat, dia bergeming penuh air mata.
"Alula, apa yang kamu lakukan di sini? Ayo kembali kamu belum sembuh-"
"Boleh aku meminjam beberapa uang, aku ingin menemui seseorang."
"Tapi-"
"Aku mohon, aku ingin membalasnya, aku ingin menghukum orang itu."
"M-menghukum?" aku mengangguk lemah. "Tapi janji satu hal," dia mengusap wajah sembabku. "Kembali ke sini, kamu harus istirahat."
"Iya."
"Ini ponsel kamu, kan? Tertinggal di rumah."
Duniaku tidak di sini, hukum saja aku. Tempat ini tak menampungku, usir saja. Tanah yang terpijak jijik padaku karena mereka selalu menjatuhkan tanpa perasaan. Tak ada rumah, tak ada cinta, tak ada! Kenapa harus hidup?
Panggilannya terdengar jauh hari, pada gedung bertingkat tempat dirinya bekerja. Setelah datang bak pahlawan lalu menjadi penyembuh, tidak sekali saja dia menampakan muka untuk meminta maaf.
Aku bisa saja bertanya dan berhenti di lantai mana dia bekerja, tapi setidaknya nama itu berhasil membawaku sampai pada gedung paling tinggi, atap menjulang yang tak tergapai dari bawah.
Beberapa kesejukan menghasilkan kebahagiaan, tapi hembusan angin kali ini membuat kulitku seperti terkoyak, kencangnya seolah menerbangkan tubuh penuh luka ini. Tembok pembatas setinggi dada, bagaimana caranya naik ke atas sana?
"Dion. Gue datang ke kantor lo. Karena gue gak tau di mana dan lantai berapa ruangan lo, gue naik ke gedung paling akhir. Atap. Satpamnya membukakan pintu karena gue menyebut nama lo, dia bodoh, padahal gue dalam keadaan sangat kacau. Datang ke sini, temui gue!"
Lihatlah semut-semut yang berlarian di bawah sana, sebagian tampak sangat jelas, sebagian lagi seperti setetes tinta yang tertempel pada kertas lapuk. Angin menerjang, kedua tangan terentang sedangkan kakiku terpijak pada tembok yang telah berhasil aku gapai.
Hembusan napas terbuang cukup kasar, menjadi paling tinggi ternyata menarik juga. Aku tak akan bisa mereka lihat dari bawah, kan.
Bruk...
"ALULA. TURUN DARI SANA. TURUN!"
Suara pintu yang terbanting kasar membuat rasa takutku berdatangan. Kedua telinga kubekap agar tak terdengar lagi suara lain, seperti rintihan minta tolong, isak tangis, pukulan-pukulan menyakitkan bahkan kecelakaan yang merenggut nyawa seseorang.
"Alula."
"Sekali lo melangkah. Gue lompat!"
Gerak Dion terhenti, satu tangannya terulur meminta untuk turun. Aku masih bergeming di atas, memperhatikan dirinya yang tak melakukan apa pun.
KAMU SEDANG MEMBACA
Janji 30 Hari [END]
Short Story"Wanita yang bekerja sebagai PSK tetap melahirkan bayi suci tanpa dosa! Ibu gue memang pelacur, bukan berarti bayi yang terlahir dari rahim itu seketika menjadi seorang pelacur! Sialan!"