[H-1] Kematian

889 49 0
                                    

Aku membenci hujan tapi bukan tetesannya. Sungguh.

OoO

Aku membenci hujan, sangat. Bukan tanpa alasan, karena setiap kali tetesannya jatuh ke bumi seolah satu tusukan yang siap menembus jantungku, menerkam seperti binatang buas, air itu seolah karma di setiap hembus napasku.

Tergeletak raga ini di aspal yang basah, dengungan memekik memenuhi ruang dalam telingaku, banyak teriak-teriak menggebu di sana, banyak suara tetesan keras menghantam. Aku tak berdaya, kaku hingga mencoba bangkit saja sudah tak mampu.

Beberapa menit yang lalu aku masih ingat saat pelukan tak mungkin terlepas, semakin Fino berteriak memaksa, aku semakin menguatkan lengan di pinggangnya. Tapi lihat sekarang, seberapa kuat hantaman mobil itu hingga hempasannya menyuruhku untuk melepaskan Fino, berjarak sedikit saja kala sorot mata ini memandang pada wajah penuh darah di sana.

"F-fino... F-fin, l-lo b-baik-b-baik a-aja, k-kan?"

"Alula. Bangun Alula, bangun! Alula!"

Aku tak bisa bergerak, napasku tercekat sangat sakit, seluruh tubuh seolah remuk dan hancur. Untuk menangis saja rasanya sulit, terlebih saat Jeko terus berteriak meminta bangun, dia juga memekik meminta tolong yang hanya didengar oleh diriku sendiri. Fino hening, dia diam di bawah tetesan hujan. Dia berdarah, Fino terluka parah.

Kraang...

Suara besi bergesekan dengan aspal. Semakin lama semakin mendekat lalu terhenti. Kupandangi sepatu hitam miliknya, jemari tengah memegang besi panjang, masker menutup sebagian mulut. Tapi mata itu, aku mengenal mata itu.

Bugh..

"AAAA. HENTIKAN, HENTIKAN. JANGAN SAKITI FINO, JANGAN PUKULKAN BESI ITU DI KEPALANYA, FINO BISA MATI!"

"PERGI SIALAN... PERGI DARI SINI... JANGAN BUNUH FINO, JANGAN BUNUH DIA!"

Bugh..

Bugh..

Bugh..

"DION. HENTIKAN!"

Semuanya sia-sia, suaraku hanya aku yang bisa mendengar. Teriakan tadi tak satu pun terlontar dari bibirku. Meskipun Jeko sama, hanya aku yang menjadi pendengar untuknya. Tubuh Fino semakin hancur, kepalanya jadi sasaran membabi buta, cairan tergenang seperti kolam darah, kejadian mengerikan ini kutatap tanpa berkedip, di hadapanku, di hadapan raga yang kaku.

"Alula. Ayo pulang," sayup-sayup dan sakit menggerogoti tubuh tatkala dia menggendong cukup kasar, memberontak, aku tak bisa. Dia pergi membawaku meninggalkan Fino sendirian. Aku pergi meninggalkan dia sendirian.

"F-fino. T-tolong, t-tetap h-hidup."

OoO

Sunyi, adakah hal yang lebih menakutkan daripada sepi dan sunyi. Satu pun tak ada suara yang terdengar, ruangan ini kosong, pikiranku kosong.

Sedikit bergerak, bibirku mengucapkan nama Fino sangat singkat. Tak ada jawaban, tak ada helaan napas, tak ada genggaman erat. Sendirian, hah. Ternyata hal yang paling menakutkan dari semua ini adalah sendirian.

Ceklek...

Pintu terbuka, menandakan seseorang datang, tapi kenapa isak tangis yang kudengar. Beberapa menit tangis itu menjadi semakin kencang, bersama dengan genggaman yang memegang erat jemariku, tangis wanita rapuh itu tak kunjung terhenti.

Janji 30 Hari [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang