[H-4] Lahir dari Seorang Jalang

511 39 0
                                    

Apa yang salah terlahir dari wanita pendosa? Apa sebagian karmanya menemani hidupku?

OoO

Pada ketinggian aku berteriak, tatap tubuhku jika memang harus patah di lantai. Pada hujan aku berbisik, hapus noda yang bergelayutan di setiap detak ragaku. Pada laut hijau aku bercerita, cairkan semua benci dalam jiwaku. Pada tanah lembab aku memaksa, sembunyikan dosaku.

Terlalu lelah untuk terus meminta dikasihani. Kaki ini goyah, berjalan menuju pulang saja yang kutemui hanya kawat besi. Mereka melambai dari dalam, tawa-tawa penipu itu terus menyambutku, menarik tubuh ini agar tancapan runcingnya semakin menusuk memperdalam.

"Lo belum jawab pertanyaan gue. Lo kenapa tiba-tiba pergi."

Di sini ramai, tapi aku tak punya tenaga untuk menghindar, sedangkan rematan di lenganku tak kunjung terlepas. Berbekal tatapan tak berarti, Fino mengernyitkan keningnya.

"Apa yang terjadi?" dia beralih pada Jeko yang berdiri di sampingku. Jika suara Jeko tak bisa dia dengar, apa gunanya bertanya?

"Kemarin lo pulang sama dia, kan? Apa yang terjadi setelah itu?"

Denyut jantungku perlahan-lahan membunuh. Sekali lagi rasa sesak berdatangan.

"Dia menyakiti lo, Ula? JAWAB!"

Gerak orang-orang terhenti, suara-suara riuh terdengar. Beberapa dari mereka mendekat, melingkar lalu mengabadikan. Aku seperti sebuah patung antik yang perlu diamati lalu dicari di mana letak salahnya.

"Kenapa lo harus berteriak? Kalau Ula gak mau jawab jangan dipaksa."

"Alula."

"Dia..."

"Ula, gak usah dijawab. Lo gak perlu menjawabnya-"

"Dia memperkosa gue. Puas lo?" aku menyentak jemari Fino keras-keras, menatap mereka yang tampak sangat kebingungan. Entah dasar apa semua yang terkumpul di dalam pikiran ini terucap dengan gampang.

"Kalian dengar, kan? Gue gadis kotor. Gue gadis hina. Gue pantas diperlakukan lebih buruk lagi, gue boleh dibully."

"Alula. Hentikan!"

"Lakukan! Lakukan kalau memang itu yang kalian mau. Gue gak pernah meminta untuk tetap hidup di dunia ini, gue gak pernah ingin lahir dari rahim seorang jalang! Enggak, gue gak butuh belas kasih kalian, gue gak mau perlindungan dari lo, lo yang munafik."

"Alula!"

"Semua sudah dengar, kan? Kalau kalian berniat untuk membunuh orang kayak gue, silakan, dengan senang hati gue menerimanya."

"Ula."

"SALAHNYA DI MANA, HA? SALAH GUE DI MANA, ANJING! GUE LAHIR LALU DITELANTARKAN, DIASUH OLEH ORANG LAIN, DISAKITI, DIHINA, DIPERKOSA. SEMUA HAL SUDAH DIRENGGUT DALAM DIRI GUE. GAK ADA SATU PUN DARI KALIAN YANG DATANG LALU MENGULURKAN TANGAN. KENAPA? APA GUE PANTAS DIPERLAKUKAN SEPERTI INI HANYA KARENA GUE TERLAHIR DARI WANITA JALANG!"

"KEEGOISAN WANITA ITU. KEINDAHAN DUNIA MALAM. KEKEJAMAN TAKDIR. PANTASKAH KALIAN MELAMPIASKAN KEKESALAN KEPADA GADIS KECIL YANG TAK MENGERTI APA-APA?"

"HENTIKAN! HENTIKAN GUE BILANG HENTIKAN!"

"AAAAKKKHHHHH!"

Semua dengungan dalam otakku menghilang, berat di pundakku tak lagi terasa. Tubuhku terasa sangat ringan, aku berhasil melampiaskan kekesalanku selama bertahun-tahun. Melihat mereka yang diam tanpa mau menjawab, apa aku berhasil?

Satu tetes air mata yang kujatuhkan setiap hari, jika dikumpulkan pasti sudah membentuk satu kubangan besar untuk menenggelamkan diri sendiri.

"Semua bubar. BUBAR!" Fino berteriak.

Hanya ada aku, Jeko dan Fino. Tak lagi dililit, lingkaran tadi telah menghilang. Jangan takut.

"A-alula."

Sedetik setelah suara Fino terdengar, tubuhku ditarik untuk masuk ke dalam pelukannya. Tidak ada debaran dalam dadaku, yang ada hanya sengatan sakit. Dekapan orang-orang bukan lagi bentuk cinta melainkan rasa kasihan.

Haruskah aku mendengarnya lagi, anak yang malang, anak menyedihkan, kasihan. Semua lontaran mereka tak kunjung selesai, semua pembicaraan orang-orang yang sedang berbisik, tak akan pernah habis. Rasanya seperti ditelanjangi di lapangan terbuka.

"Maafin gue, Alula. Gara-gara gue lo kek gini. Maaf."

"Lebih dari ini pernah gue rasain, jadi gak usah merasa menyesal. Gue gak papa."

Ada hari di mana kamu tak harus mengatakan baik-baik saja. Kamu boleh marah, kamu boleh mengeluh, kamu boleh memberontak. Dan hari itu, sekarang.

"Karena gue pernah minta dipeluk sekali, sekarang lo terang-terangan meluk gue kek gini, Fin."

Seketika Fino beranjak, kedua jemarinya terangkat meminta maaf sekali lagi. Aku terdiam kikuk.

"Alula, apa lo mau bebas darinya?"

Bebas. Seperti apa kebebasan itu? Setiap kalimat yang bersahutan dengan bebas membuat jiwaku meringis. Di setiap titik tubuhku seolah terdekteksi pelacak, ke mana kaki melangkah orang-orang pasti akan menemukanku.

"Bisakah gue bebas?"

"Bisa. Pulang ke rumah gue, bukan rumah lo."

"Fino-"

"Tunggu. Jangan berpikiran buruk dulu sama gue. Ada nyokap dan bokap gue di rumah, ada beberapa pekerja juga. Tujuan gue membawa lo ke sana bukan bermaksud lain, cuma gue pengen lo menjauh dulu dari laki-laki gila itu. Tapi..."

"Apa?"

"Lo harus tahan dengan perlakuan nyokap gue. Lo benci dikasihani, kan? Lo harus menahannya sebentar."

Jeko ribut sekali dari tadi. Dia terus bersorak agar aku menerima niat baik Fino. Awalnya dia sangat membenci Fino, tapi kali ini Jeko menghapus egonya lalu mengalah.

"Gimana? Lo udah ambil keputusan?"

Di berisik sekali, laki-laki yang sekarang duduk di depanku berisik.

Tuk...

Jemari lentik itu meletakan satu susu kotak di meja yang aku duduki bersama Fino dan Jeko. Semakin lama bertambah menjadi dua, tiga hingga tak lagi memiliki ruang di meja. Aku terbungkam hening, Jeko bergeming sedangkan Fino yang mulai melipat lengan mengernyitkan kening kebingungan.

"I-ini, apa?"

Kerumunan tadi membelah, memperlihatkan Dimea, Tiana dan juga Agnes yang mendekat. Membawa tiga minuman kaleng lalu mereka ulurkan padaku. Sedih gurat yang tercipta di sana membuatku berdiri secara tergesa.

"Lempar gue. Lo boleh mukul gue dengan benda ini," Dimea berucap pelan tapi menyakiti hatiku. Aku bukan mereka, aku bukan Greya. Meskipun mau, aku tak pernah mampu memberikan luka pada orang yang melukaiku.

"Lo boleh lempar susu kotak itu sama kami, Ula. Karena kami selalu nyakitin lo selama ini."

Mereka berteriak, setelahnya menunduk penuh rasa sesal. Tuhan, apakah doa-doaku mulai terdengar, apa permintaanku sudah dikabulkan. Kenapa dengan orang-orang ini, apa yang membuatnya berubah menjadi seperti ini?

"Kalau hati lo masih sakit. Lo bisa pilih acak dari mereka lalu lempar semua susunya," Fino menyarankan. Aku menggeleng.

"K-kalau gue ambil semua susunya untuk diminum, boleh gak?"

Ya, pada akhirnya aku menyadari satu hal. Meski tumbuh dari keluarga orang lain, meski hidup dalam kehidupan yang toxic, meski menjalani hari penuh luka dan tetesan tangis. Hatiku tetaplah rapuh jika satu saja memberi perhatian lebih berupa ketulusan. Aku perasa, mana senyum tenang penuh palsu, mana diam penuh ketulusan.

Jika baik saja membuat aku terbawa suasana. Bagaimana jika kau tulus?

OoO

Janji 30 Hari [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang