[H-2] Kesaksian Senja

457 37 0
                                    

Andai saja langit senja bisa berteriak, dia pasti akan meminta malam datang lebih lama.

OoO

Seperti inikah rasanya bebas. Tak ada gundah yang membelenggu di balik pintu kamarku, tak ada penglihatan penuh amarah bersumber dari meja makan, tak ada kebencian terbentuk saat mereka menyuap beberapa potong roti, tak ada hembusan yang berupa umpatan tersembunyi kala mereka hening.

Diam-diam senyum manis terbit saat Fino membantu Ibunya memasak, kebanggaan para guru, kesayangan para murid, serta berlian berharga bagi keluarnya. Kenapa aku merasa sangat iri melihat kebahagiaan ini.

Benda pipih di genggaman laki-laki paruh baya itu terletak pada meja. Sejenak pandangan mata kami bertemu, dia tersenyum.

"Istri saya sudah cerita mengenai kamu. Dia bahagia bisa berbicara dengan anak perempuan bahkan dia berniat mengadopsimu. Hahah, tapi apa kamu tahu Alula, saya lebih menyarankan kalau kamu jadi menantu saya saja."

Ada beberapa kalimat yang pernah aku dengar. Warna putih jangan dicampur noda hitam, mereka akan berubah buruk. Diriku dan kisah yang kujalani tak bisa diolah ulang, tak bisa dirapikan atau mengubahnya menjadi kertas putih yang bersih. Bersama mereka akan membuat kebahagiaan ini luntur. Senyum yang semula merekah, bertaut kian hambar.

"Perasaan lo doang Ula. Jangan kejam-kejam sama diri sendiri, lo berharga bagi orang yang tepat, dan lo berharga buat gue. Lo lupa sama yang dibilang sama nyokap Fino, masih ada mereka, masih ada yang menyayangi meskipun lo bukan siapa-siapa."

"Fino mana pernah membawa gadis ke rumah, cuma kamu dengan alasan yang konyol," dia tertawa lagi. "Perkara kakinya tak sengaja kamu sandung lalu jatuh. Apa kamu tahu, itu hanya akal-akalan anak laki-laki agar bisa mendekat lalu meminta maaf."

Fino berbohong, lagi-lagi dia berbohong. Cerita yang dia sampaikan, berbeda-beda.

"Nasi gorengnya udah mateng. Makan yang banyak, nanti sore kita ke jalan layang ngeliat senja."

Aku mendongak pada Fino, beberapa pertanyaan bergentayangan dalam benakku. Kenapa berbohong? Apa yang kamu ceritakan pada mereka? Ibumu? Ayahmu? Apakah kisahku yang menyakitkan sekaligus memalukan ini, mereka tahu? Aku rasa tidak, sebab, tatap mata itu tidak menunjukan arah yang menjijikan.

"Jangan pulang malam-malam," Ibunya menimpali, Fino mengangguk.

"Bawa payung, katanya cuaca hari ini hujan deras. Ayah takut kalian sakit."

Jeko, andai aku terlahir dari kehidupan seperti ini, apa aku akan bahagia? Lalu seperti apa bahagia itu, apa seperti yang diinginkan oleh Dion, bahagianya seperti sakit yang berasal darinya. Jeko, andai aku berada di lingkungan seperti ini, apa aku akan merasa kalau hidup itu sumber ketenangan?

"Kalau lo tumbuh dari keluarga seperti ini. Kita tak akan pernah bertemu apa lagi menjalani hubungan spesial sekaligus menyakitkan, Ula."

Dia benar. Lantas, apa aku harus merasa sedih mendengar ini?

OoO

Lihatlah langit terang di atas sana, memberikan secercah harapan pada jiwa yang siap menempuh kematian. Terpaan angin memberikan segudang rasa ikhlas, lelah raga atau pikiran.

Berisik tak memberikan jeda dalam detak jantungku, keindahan yang sebelumnya tak pernah ada atau tak pernah aku tatap rasanya membuatku sangat-sangat puas. Jika akhirnya aku mati hari ini, maka akan aku bawa kebahagiaan ini bersama keabadian.

"Lo suka?"

"Lo bahagia?" aku menoleh pada Jeko. "Seharusnya itu pertanyaan yang keluar dari mulut lo, bukan yang tadi."

Janji 30 Hari [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang